top of page

Tiga Tahapan Iman (Agus Lianto)

Catatan Khotbah: 3 Stages of Faith, ditulis dari sharing Bp. Pdt. Agus Lianto di Ibadah Minggu Tgl. 29 Januari 2023..



Tujuan akhir dari apa yang hendak disampaikan adalah agar kita dapat hidup tanpa kekuatiran. Sebab jika ketakutan dan kekuatiran diangkat, maka kemarahan hilang. Jika kemarahan hilang, maka kebencian juga hilang, dan pada akhirnya kita dapat mengalami damai dan sukacita Allah di dalam hidup dengan berlimpah. Kita dapat menikmati Dia dan juga berkat-berkatNya. Hidup kita tidak mungkin berkekurangan, karena hidup di dalam iman, segala yang baik itu sudah Tuhan sediakan. Memang kita tetap bekerja keras. Tetapi tanpa kekuatiran dan kemarahan, kita bisa mencapai banyak hal lebih lagi.


Kita dapat belajar dari kehidupan Tuhan Yesus. Sekalipun terdapat banyak tantangan di dalam pelayanan-Nya selama di atas muka bumi ini, Dia tetap tenang. Mengapa? Karena Dia tahu Bapa-Nya masih memegang kendali di atas segalanya. Tuhan dan Kerajaan-Nya itu adalah sebuah realitas / kenyataan, bukan hanya sekadar confession of faith / pernyataan iman.


Iman pada dasarnya adalah trust / percaya, di mana kita dapat menggantungkan dan mempercayakan diri sepenuhnya kepada-Nya. Sama seperti kisah seseorang yang membawa anaknya yang percaya dan mempercayakan hidupnya, untuk berjalan di atas seutas tali. Dan kalau kita percaya, maka kita akan bertindak dan melakukan sesuatu. Bila memiliki iman pada Yesus, apakah kita benar-benar percaya pada-Nya, dan melakukan setiap aspek di dalam hidup kita ini sesuai dengan cara-Nya? Atau kita hanya melakukan sesuai dengan cara kita sendiri?


Can we live Faith without Trust?


Dapatkah kita hidup dengan iman, tanpa disertai rasa percaya pada-Nya? Jawabnya adalah: Tidak. Setiap orang harus hidup dengan iman yang disertai dengan trust / percaya. Iman memegang peran mutlak untuk kehidupan normal sehari-hari. Harusnya iman dilakukan tanpa perlu adanya usaha / perjuangan keras, sama seperti kita yang hendak memutar keran air. Mungkin bisa saja airnya mati, atau ada kebocoran pada pipa yang mengakibatkan keran tersebut tidak mengeluarkan air. Dan ketika memutar keran air tersebut, kita dapat yakin dan percaya bahwa airnya pasti akan keluar, tanpa harus berpikir keras apakah airnya akan keluar / tidak.


Dengan iman kita memiliki visi dan pemahaman tentang realitas, dan bagaimana kita bergerak di dalamnya.


Banyak orang hanya sekadar berdoa, dengan dasar kalau dijawab ya syukur kalau tidak dijawab ya sudah. Tetapi kita menerima iman tersebut sebagai sebuah realitas. Tuhan dan Kerajaan-Nya itu nyata adanya. Ada kalanya Tuhan menyembunyikan diri, karena Dia ingin dicari dan dikejar. Mengapa? Karena dengan hal tersebut Dia tahu bahwa Diri-Nya benar-benar diinginkan umat-Nya. Kita akan kehilangan kebebasan bila kita mencari-Nya, Dia dengan segera muncul di hadapan kita. Tuhan ingin agar kita mencari dan mengasihi-Nya dengan kerelaan hati dan kemauan kita. Bukan dengan paksaan. Kita tidak memiliki sedikit keraguan pun terhadap-Nya.


3 Stages of Faith


Dari kisah yang dialami Ayub, kita dapat belajar ada Tiga Tahapan Iman / 3 Stages of Faith yang dapat dipelajari darinya.


Tahap Pertama. The Faith of Propriety.


“Lalu bertanyalah TUHAN kepada Iblis: “Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.” Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: “Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah? Bukankah Engkau yang membuat pagar sekeliling dia dan rumahnya serta segala yang dimilikinya? Apa yang dikerjakannya telah Kauberkati dan apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri itu.” (Ayub 1:8-10).


The Faith of Propriety adalah Iman yang Sewajarnya atau yang Seharusnya terjadi seperti itu, kita melakukan apa yang benar untuk mendapat hasil yang diharapkan. Kita sering menyebutnya dengan Iman Tabur Tuai, di mana semua orang beriman memulai dari tahap ini. Tidak salah memang. Tetapi iman ini sesungguhnya tidak cukup baik. Dari ayat yang dibaca di atas, kita mendapatkan bahwa Iblis begitu licik luar biasa. Dia menyerang Tuhan dan Ayub melalui ayat di atas. Iman ini dapat goyah karena kita berjuang dengan kekuatan sendiri, selama ini sudah berbuat baik, kita pasti akan mendapat reward / upah. Tetapi yang kita dapatkan / tuai bisa jadi tidak sama dengan apa yang kita harapkan selama ini / tabur.


Kita dapat melihatnya dari hidup Ayub. Alkitab mencatat pada kita bahwa Ayub,


“..itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Setiap kali, apabila hari-hari pesta telah berlalu, Ayub memanggil mereka, dan menguduskan mereka; keesokan harinya, pagi-pagi, bangunlah Ayub, lalu mempersembahkan korban bakaran sebanyak jumlah mereka sekalian, sebab pikirnya: “Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di dalam hati.”” (1:1,5).


Ayub berharap dengan dirinya melakukan semua kesalehan tersebut, pasti hidupnya tidak akan mendapat masalah apa-apa. Terkadang Tuhan menggagalkan tahapan iman ini agar kita dapat menerima sesuatu yang jauh lebih baik dari apa yang kita harapkan selama ini. Karena rencana Tuhan itu masih jauh lebih baik, dari semua rencana kita yang kita anggap terbaik.


When Bad Things Happen to Good People, kita dapat belajar lebih dalam mengenal siapa Diri dan juga karakter-Nya, dan menyadari bahwa segala sesuatu di dalam dunia ini masih dapat digoncangkan. Hanya di dalam kerajaan-Nya yang tinggal tetap dan tak tergoncangkan. Dia Mahakuasa, masih sanggup untuk memberikan yang terbaik, dan Dia mengasihi kita.


Tahap Kedua. The Faith of Desperation.


“Sekalipun Allah akan mencabut nyawaku, aku akan tetap mempercayakan diriku kepada-Nya; aku hendak menghadap Allah untuk mengadukan perkaraku kepada-Nya.” (Ayub 13:15, versi Firman Allah Yang Hidup).


The Faith of Desperation adalah Iman Walaupun, dan berada di dalam keadaan desperate / putus asa. Iman di tahapan ini mengajak kita untuk terus mempercayai-Nya, walau kita menghadapi situasi yang sangat berat. Kekristenan memang tidak melarang dan menyangkali realitas. Dan saat semua hal yang sudah kita rencanakan dengan matang diizinkan untuk hancur berantakan, kita masih memiliki kesempatan untuk dapat mengenal lebih dalam realitas tentang siapa pribadi Allah yang sesungguhnya. Dia membawa kita ke titik ini untuk mengajar bagaimana kita terus mempercayai Dia pada saat berada di tengah badai kehidupan. Dan kita tidak boleh melupakan bahwa kita tidak didesain untuk tinggal terlalu lama di tahapan iman ini.


Jangan pernah lelah untuk terus berdoa dan tetap bekerja keras, meminta agar Tuhan mengubah keadaan kita menjadi jauh lebih baik. Hal ini jauh lebih baik dari sekadar sikap pasrah yang hanya berkata bahwa Tuhan memiliki rencana yang jauh lebih baik.


Kekristenan tidak berbicara tentang tindakan yang heroik. Bukan hanya sekadar sikap positif dan tangguh saja. Bukan hanya kita merasa kuatir, terus kita diajak untuk percaya saja.. yang di mana melalui semuanya itu membuktikan bahwa tidak ada satu pun di dalam dunia jasmani ini yang dapat diandalkan. Baik hal itu berupa uang / kekayaan, pangkat, jabatan, pengaruh, pekerjaan.. tidak ada yang dapat diandalkan, karena semuanya dapat tergoncangkan. Tetapi ada satu realitas yang jauh lebih kuat sehingga kita tidak perlu menjadi kuatir,


“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” (Matius 6:33-34).


Iman tidak perlu perjuangan sampai begitu keras, kita hanya perlu tahu bagaimana cara bekerjanya. Jangan pernah berhenti untuk terus mencari Tuhan. Kita dapat belajar dari keteladanan hidup yang diberikan Paulus. Sekalipun Tuhan mengizinkan duri di dalam dagingnya tidak diambil, Paulus tetap mengucap syukur dan menikmati hidupnya,


“Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.” (2 Korintus 12:7-9).


Tahap Ketiga. The Faith of Sufficiency.


“Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal. Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.” (Ayub 42: 2, 5-6).


The Faith of Sufficiency atau bisa juga disebut dengan Iman yang Berkecukupan. Di tahapan ini kita memiliki rasa aman dan puas karena dapat melihat Allah yang Mahabesar. Di titik ini, semua pergumulan kita menjadi tak berarti di hadapan kebesaran-Nya. Kita memiliki kepastian mutlak bahwa segala sesuatu nantinya akan mendatangkan kebaikan dalam hidup dan juga membawa kemuliaan bagi nama-Nya.


Tuhan menegur Ayub di dalam pasal 38-41, yang di mana pada saat itu posisinya masih mengalami sakit penyakit dan juga penderitaan. Pada waktu Tuhan menunjukkan kekuasaan-Nya dan menantang Ayub, dirinya akhirnya dapat melihat dan menyadari,


Tuhan itu terlalu besar untuk berbuat salah.


Semua kesalehan yang dia capai, dan keluhan yang selama ini dilontarkan tidak ada artinya. Marilah bersama-sama menyadari, terkadang penderitaan itu terjadi karena sering kali kita menganggap diri penting dan menjadi pusat dari segalanya. Akhirnya kita menjadi mudah tersinggung, kuatir, dan sakit hati.. kita menempatkan keberhasilan dan harta yang dimiliki di tempat yang terutama, dan tidak lagi Pribadi Tuhan.


Kita merasa berharga karena kita memiliki prestasi, uang, dan kekayaan yang besar.. padahal kita berharga di hadapan-Nya karena Dia mengasihi dan, “..menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” (Roma 5:8).


S’mua Baik. Sungguh Teramat Baik.


Tidak dinyanyikan dengan iringan air mata, seharusnya dengan penuh sukacita karena rencana-Nya selalu terbaik bagi setiap kita. Air mata menimbulkan pertanyaan mengapa kita menderita. Dan Tuhan itu terlalu besar untuk berbuat kesalahan. Segala sesuatu diciptakan baik adanya. Firman-Nya berkata,


“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Roma 8:28).


Kita “tahu”, bukan hanya sekadar “percaya”. Kasih-Nya begitu besar, tidak mungkin Dia memberikan yang tidak baik bagi hidup kita. Dan bila kita diizinkan untuk mengalami berbagai macam pergumulan dan juga kesulitan, semuanya bertujuan agar kita pada akhirnya dapat menjadi serupa dengan Kristus.


“Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.” (Roma 8:29).


Tidak ada air mata dan seseorang yang menyesali hidupnya, di dalam kekekalan Sorga. Dalam iman seorang anak pada ayahnya, marilah tetap mempercayai bahwa Dia adalah Bapa kita yang sangat baik, dan tidak akan pernah meninggalkan hidup kita sendirian.


Aplikasi Hubungan Bapa & Anak.


Tahap Pertama. The Faith of Propriety adalah Iman yang Sewajarnya atau yang Seharusnya terjadi seperti itu, kita melakukan apa yang benar untuk mendapat hasil yang diharapkan.


Sama seperti sikap seorang anak yang bila berbuat baik, maka dirinya akan mendapat reward / upah. Bila berbuat salah, maka akan dihukum. Pada akhirnya, anak tersebut akan memiliki kehidupan yang penuh “berjaga-jaga” dan serba takut bila berbuat salah, karena fokus hidupnya akan terbentuk hanya ingin mendapat reward dan menghindari hukuman. Anak tersebut memiliki pola pikir ketika dia berbuat benar, dirinya pasti akan mendapat reward.


Tuhan sesungguhnya rindu agar kita dapat menjalin hubungan karib dengan-Nya bukan berdasarkan timbal-balik, tetapi berangkat dari sebuah kesadaran bahwa apa pun yang terjadi, kita tetap memutuskan untuk mengasihi-Nya.


Tahap Kedua. The Faith of Desperation adalah Iman Walaupun, dan berada di dalam keadaan desperate / putus asa. Iman di tahapan ini mengajak kita untuk terus mempercayai-Nya, walau kita menghadapi situasi yang sangat berat.


Hal ini sama saja dengan seorang anak yang sedang dihukum, tetapi dirinya tetap menyayangi ayahnya. Anak tersebut merasa ayahnya kejam karena telah menghukumnya, tetapi tetap mau menyayanginya. Dan melaluinya kita dapat belajar agar kita ini mau menyadari mengapa kita sampai diizinkan untuk mengalami teguran dari-Nya? Setelah menyadari, kita harus bertobat, dan juga meninggalkan dosa / kesalahan tersebut.


Tahap Ketiga. The Faith of Sufficiency atau bisa juga disebut dengan Iman yang Berkecukupan. Di tahap ini kita memiliki rasa aman dan puas karena melihat Allah yang Mahabesar.


Aplikasinya adalah anak tersebut melakukan segala sesuatu karena ingin menyenangkan hati ayahnya, bukan karena ingin mendapat reward atau pun menghindari hukuman. Semua yang dilakukan karena ingin mengenal lebih dekat dan lebih dalam hati ayahnya. Melakukan segala sesuatu karena tidak ingin menyakiti hati ayahnya.


Tujuan hidup dalam Kekristenan adalah kemenangan, baik di dalam dunia maupun pada saat kita sudah memasuki kekekalan Sorga. Kita tidak perlu kuatir. Puji Tuhan bila kita diberkati dengan kekayaan, karena pasti ada tujuan-Nya. Tuhan pasti akan selalu mencukupkan dan memelihara hidup kita semua.


Amin. Tuhan Yesus memberkati..

8 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page