Catatan Khotbah: Hantaman Terakhir. Ditulis dari sharing Bp. Pdt. dr. Yudi Santoso di Ibadah Minggu Tgl. 27 November 2022.
Setiap dari kita harus bekerja sama dan menaruh iman kepercayaan kita hanya pada Tuhan, bukan pada yang lain. Tak sedikit juga dari antara kita yang pernah diizinkan mengalami ujian dan pencobaan.. tetapi percayalah bahwa kita tidak akan pernah ditinggalkan sendiri ketika menghadapi berbagai proses tersebut. Kelak semua proses yang pernah terjadi akan dapat mendewasakan, dan agar kita dapat memiliki karakter yang menyerupai Kristus.
Ayat Bacaan: 1 Samuel 27:1,3, 6-7, 28:3-19, 30:1-20.
Setelah melalui banyak proses dan kesulitan, Daud untuk yang terakhir kalinya menghadapi hantaman terbesar sebelum dirinya benar-benar diangkat menjadi raja atas Israel. Dan dalam waktu bersamaan, Saul juga menghadapi krisis yang berujung pada kematiannya di tangan bangsa Filistin. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana Daud mengalami begitu banyak proses, dan pada akhirnya dirinya dimampukan untuk dapat melalui krisis terberat dengan kemenangan, dan menerima janji Tuhan.
Bagian Pertama. Ujian Ketika Tuhan Terasa Jauh.
Begitu lama Daud dan keenam ratus pengikutnya hidup dalam pelarian (27:2), dan janji Tuhan makin terasa jauh dan kabur. Daud mulai lelah dan kehilangan arah, ke manapun dia pergi selalu diburu. Daud mulai mengeluh dan tidak lagi dengar-dengaran akan suara Tuhan, dan pada akhirnya memutuskan untuk menghamba pada Akhis bin Maokh, raja kota Gat (ayat 3-5). Di masa depresi yang terus-menerus menekannya, Daud akhirnya menyerah. Terbuang jauh dari tanah air dan menghamba pada musuh.
Daud tidak lagi bersandar pada Tuhan, dan mulai mengandalkan kekuatan manusia. Dan selama berada di zona nyaman Ziklag (ayat 6), tidak ada satupun pasal Mazmur yang ditulis. Daud berada di titik terendah dalam hidupnya, sekalipun apa yang dialaminya terasa nyaman. Tuhan terasa jauh bagi Daud dan juga pengikutnya.
Ketidaktaatan Saul
Dalam 1 Samuel 13, diceritakan bahwa Saul tidak taat ketika orang Filistin datang menyerangnya. Saul sudah menunggu waktu tujuh hari lamanya sampai waktu yang ditentukan Samuel, dan ketika Samuel tidak datang juga ke Gilgal, rakyat mulai berserak dan meninggalkan dia (ayat 8). Dan di ayat 9 diceritakan bahwa Saul melakukan tindakan yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh para imam, bukan oleh para raja.
“Sebab itu Saul berkata: "Bawalah kepadaku korban bakaran dan korban keselamatan itu." Lalu ia mempersembahkan korban bakaran.”
Selain itu, Saul juga tidak taat ketika Tuhan melalui hamba-Nya Samuel menyuruhnya,
“Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya, dan janganlah ada belas kasihan kepadanya. Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta maupun keledai." (1 Samuel 15:3).
Alih-alih menaati perintah Tuhan, yang dilakukan Saul justru sebaliknya,
“Tetapi Saul dan rakyat itu menyelamatkan Agag dan kambing domba dan lembu-lembu yang terbaik dan tambun, pula anak domba dan segala yang berharga: tidak mau mereka menumpas semuanya itu. Tetapi segala hewan yang tidak berharga dan yang buruk, itulah yang ditumpas mereka.” (ayat 9).
Dan akhirnya Tuhan menolak Saul menjadi raja atas Israel (ayat 26), karena bagi-Nya,
“..Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan.” (ayat 22).
Dalam 1 Samuel 28 diceritakan bahwa Samuel sudah mati (ayat 3), dan Saul dan seluruh orang Israel harus menghadapi perang paling berat melawan Filistin dan sekutunya. Tuhan tidak lagi menjawab Saul, baik dengan mimpi, baik dengan Urim, baik dengan perantaraan para nabi. Dan Saul memutuskan untuk melakukan kekejian di hadapan Tuhan (ayat 7-12), yang berakibat Tuhan undur dan menjadi musuhnya. Dan pada akhirnya, peperangan hebat harus dilalui Saul dan berujung pada kematiannya.
Hidup dalam Kelancangan dan Kompromi, krisis terberat akan menjadi: Akhir Segala Sesuatu. Saul kehilangan integritasnya, imannya, kerajaannya, dan juga anak-anaknya. Selain itu, Saul juga menemui ajalnya.
Patience is not the ability to wait, but the ability to keep a good attitude while waiting - Joyce Meyer
Kesabaran bukanlah kemampuan untuk menunggu, tetapi kemampuan untuk menjaga sikap yang baik pada saat menunggu.
—Joyce Meyer
Contoh dan Teladan Tuhan Yesus
Tuhan Yesus sendiri juga pernah mengalami masa-masa sulit. Taman Getsemani adalah saksi bisu di mana Dia mau menaklukkan kehendak-Nya pada kehendak Bapa-Nya (Lukas 22:42). Diceritakan bahwa Dia sangat ketakutan, peluh-Nya berubah menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah (ayat 44). Dan puncaknya adalah ketika Bapa meninggalkan-Nya karena begitu berat dan gelap dosa manusia yang harus ditanggung Yesus di atas kayu salib, dan Dia berseru dengan suara nyaring,
“"Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46).
“Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah. Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa. Dalam pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah.” (Ibrani 12:1-4).
Tuhan Yesus bukan hanya menderita bagi kita, tetapi Dia Pribadi yang menjadi sama dengan kita, dan mau menderita bersama-sama dengan kita. Dalam penderitaan-Nya, Dia memberi contoh bagaimana menjalani hidup dalam penderitaan, dan juga mengalami kemenangan. (Majalah Time, 12 April 2004).
Tuhan Yesus telah menjadi contoh dan teladan hidup bagi kita, agar di setiap kesulitan yang diizinkan untuk kita hadapi.. jangan pernah lari darinya. Jangan juga undur dari setiap perlombaan iman yang sudah ditetapkan bagi kita. Sekalipun kita masih diizinkan mengalami berbagai masalah, apakah kita mau untuk tetap belajar melayani dan juga mendoakan sesama? Bertumbuhlah dalam komunitas rohani yang sudah Tuhan tetapkan bagi setiap kita.
Bagian Kedua. Ujian Iman Pada Tuhan.
“Ketika Daud dan orang-orangnya sampai ke kota itu, tampaklah kota itu terbakar habis, dan isteri mereka serta anak mereka yang laki-laki dan perempuan telah ditawan. Dan Daud sangat terjepit, karena rakyat mengatakan hendak melempari dia dengan batu. Seluruh rakyat itu telah pedih hati, masing-masing karena anaknya laki-laki dan perempuan. Tetapi Daud menguatkan kepercayaannya kepada TUHAN, Allahnya.” (1 Samuel 30:3,6).
Dalam titik pertobatannya, Daud menyadari bahwa dirinya selama ini sudah mengambil keputusan yang salah. Dan sekalipun dalam keadaan yang sangat terjepit, Daud memutuskan untuk tetap menguatkan kepercayaan-Nya pada Tuhan, Allahnya (ayat 6). Dan kita dapat melihat bagaimana penyertaan Tuhan,
“Dan pada keesokan harinya Daud menghancurkan mereka dari pagi-pagi buta sampai matahari terbenam; tidak ada seorangpun dari mereka yang lolos, kecuali empat ratus orang muda yang melarikan diri dengan menunggang unta. Daud melepaskan semua apa yang dirampas oleh orang Amalek itu; juga kedua isterinya dapat dilepaskan Daud. Tidak ada yang hilang pada mereka, dari hal yang kecil sampai hal yang besar, sampai anak laki-laki dan anak perempuan, dan dari jarahan sampai segala sesuatu yang telah dirampas mereka; semuanya itu dibawa Daud kembali.” (30:17-19).
Hidup dalam Ketaatan, krisis terberat justru menjadi: Awal yang Baru. Semua dapat dikembalikan dengan selamat, tidak ada yang hilang, ataupun mati.
Akhir Hidup yang Berbeda
Saul dan Daud sama-sama mengalami krisis, iman keduanya pada Tuhan sedang diuji. Daud dengan momen Ziklag-nya, Saul dengan momen En-Dornya. Tetapi kita dapat belajar akhir dari hidup mereka berdua sungguhlah berbeda. Daud memilih untuk menguatkan kepercayaannya pada Tuhan, dan berujung berhasil direbutnya kembali segala sesuatu miliknya dan juga milik para pengikutnya. Bagaimana dengan Saul?
“Kemudian makin beratlah pertempuran itu bagi Saul; para pemanah menjumpainya, dan melukainya dengan parah. Lalu berkatalah Saul kepada pembawa senjatanya: "Hunuslah pedangmu dan tikamlah aku, supaya jangan datang orang-orang yang tidak bersunat ini menikam aku dan memperlakukan aku sebagai permainan." Tetapi pembawa senjatanya tidak mau, karena ia sangat segan. Kemudian Saul mengambil pedang itu dan menjatuhkan dirinya ke atasnya.” (31:3-4).
Bukannya bertobat, Saul malah memilih untuk menjaga image dan membunuh dirinya sendiri.
Dan melalui kisah keduanya, kita belajar:
Daud Memperkuat Imannya pada waktu krisis. Daud Membangun Kualitas dalam hidupnya sejak awal: Menjalani setiap proses dengan tekun. Sedangkan Saul Kehilangan Imannya pada waktu krisis. Saul tidak melewati proses pada saat menjadi raja, tidak taat sejak semula, lancang dalam ibadah dan melanggar kekudusan Allah (profanity, 1 Samuel 13:8-14), serta kompromi dengan tidak memusnahkan Amalek (15:1-11).
Dari seluruh kisah Daud, marilah meyakini bahwa setiap jerih lelah kita di dalam Tuhan itu tidaklah berlalu dengan sia-sia (1 Korintus 15:58). Dan bisa jadi sama seperti Daud, kita mungkin saja mengalami berbagai proses dan kesulitan tanpa henti yang makin lama semakin berat, meskipun kita sudah menjaga hidup dengan sebenar mungkin di hadapan-Nya. Tetapi satu hal yang pasti, hal ini tidak menunjukkan bahwa Tuhan itu meninggalkan kita sendirian.
Sebagaimana pengalaman Daud, pada akhirnya kita akan menjumpai bahwa di dalam krisis terberat, ketika seluruh penopang hidup diizinkan untuk diambil dari hidup kita. Tuhan adalah Batu Karang dan Jaminan yang kokoh bagi hidup kita. Tiap krisis justru akan menjadi sebuah awal yang baru dalam penggenapan janji-Nya. Kiranya Tuhan menguatkan setiap kita, dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan.
“Tetapi Tuhan ALLAH menolong aku; sebab itu aku tidak mendapat noda. Sebab itu aku meneguhkan hatiku seperti keteguhan gunung batu karena aku tahu, bahwa aku tidak akan mendapat malu.” (Yesaya 50:7).
Suara Gembala: Belajar dari Proses.
Disampaikan oleh: Bp. Pdt. Andreas Rahardjo.
Setiap dari kita tidak akan mungkin bisa lepas dari yang namanya proses. Dan dari proses tersebut kita dapat belajar beberapa hal.
Pertama. Ujian bisa datang bertubi-tubi, tetapi tetaplah ingat bahwa ujian tersebut bukan untuk menghancurkan tetapi mendewasakan iman dan menjadikan hidup lebih indah lagi. Tidak ada pilihan lain, hanya dengan proses hidup kita dapat didewasakan. Sebelum perhiasan dipajang di etalase toko, perhiasan tersebut pasti mengalami berbagai proses yang lama, panjang, dan pastinya tidak mengenakkan dirinya.
Berikut adalah kegagalan yang pernah dialami Abraham Lincoln,
Tahun 1831: Kebangkrutan dalam usahanya.
Tahun 1832: Kalah dalam pemilihan lokal.
Tahun 1833: Kembali menderita kebangkrutan.
Tahun 1835: Istrinya meninggal dunia.
Tahun 1836: Menderita tekanan mental sedemikian rupa, sehingga hampir saja masuk rumah sakit.
Tahun 1837: Kalah dalam kontes pidato.
Tahun 1840: Gagal dalam pemilihan anggota Senat Amerika Serikat.
Tahun 1842: Menderita kekalahan untuk duduk dalam kongres Amerika Serikat.
Tahun 1848: Kalah lagi di kongres Amerika Serikat.
Tahun 1855: Gagal lagi di Senat Amerika Serikat.
Tahun 1856: Kalah dalam pemilihan untuk menduduki kursi wakil presiden Amerika Serikat. Tahun 1858: Kalah lagi di Senat.
Tahun 1860: Pada akhirnya berhasil menjadi presiden Amerika Serikat.
Uniknya pada saat Abraham Lincoln menjadi seorang presiden dia berujar,
“Ternyata sekarang saya baru sadar, bahwa saya sesungguhnya ditakdirkan untuk menjadi seorang Presiden Amerika Serikat”.
Kedua. Pada waktu diproses, Daud pernah memutuskan untuk keluar dari jalur-Nya Tuhan. Karena lelah menjadi buronan dari bangsanya, Daud berpikir bahwa tempat paling aman adalah tempat di mana musuhnya berada dan dirinya menghamba pada Akhis bin Maokh, raja kota Gat. Di kota ini, Daud tinggal selama satu tahun empat bulan dan merasa tenang hidupnya, tidak ada lagi kejaran dari Saul. Tetapi hidupnya tidak berbuah. Tidak ada satupun pasal di Mazmur yang ditulis, saat Daud berada di Gat.
Daud merasa lelah dan memutuskan untuk mengambil jalan pintas, yang sesungguhnya bukanlah jalan keluar terbaik. Pada waktu hidup sedang diproses Tuhan, jangan pernah tergoda mengambil jalan pintas. Bersama dengan Tuhan yang memampukan, marilah menyelesaikan setiap proses yang ada hingga selesai.
Ketiga. Daud kembali pada prosesnya Tuhan, dan mendapat “peninggian” dari Tuhan. Ketika kita sudah menyelesaikan setiap proses yang ada, maka hidup kerohanian kita juga akan bertumbuh dewasa di dalam Tuhan. Pada suatu hari nanti kita akan menjadi seseorang yang berbeda, diurapi dan dipakai menjadi berkat Tuhan bagi banyak orang yang membutuhkan.
Walau proses yang berjalan terasa menyakitkan, jangan pernah memberontak, tetaplah setia untuk bergumul di dalamnya. Setiap krisis yang diizinkan terjadi, akan menjadikan kita lebih indah dan nantinya hidup kita juga akan dimampukan untuk dapat menjadi berkat bagi sesama. Percayalah bahwa setiap proses dan krisis yang diizinkan itu akan mendatangkan kebaikan, merupakan bagian dalam hidup, dan Dia yang akan terus menenun dan membangun kita untuk dapat menjadi serupa dengan diri-Nya.
Amin. Tuhan Yesus memberkati..
Comentarios