Catatan Khotbah: “Hidup Dipenuhi Roh Kudus.” Ditulis ulang dari sharing Bp. Pdt. Anugerah Saron, di Ibadah Minggu di MDC Graha Pemulihan, pada Tgl. 26 Mei 2024.
“yaitu tentang Yesus dari Nazaret: bagaimana Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus dan kuat kuasa, Dia, yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis, sebab Allah menyertai Dia.” (Kisah Rasul 10:38).
Di dalam keadaan-Nya sebagai manusia sejati, kita belajar bahwa Tuhan Yesus di dalam hidupnya selalu bergantung sepenuhnya pada urapan dan kuat kuasa yang diberikan Roh Kudus. Bahkan firman Tuhan mengatakan pada kita kalau Dia suka menyendiri untuk berdoa dan mengambil saat teduh.. yang merupakan contoh bagi setiap kita akan kebergantungan-Nya pada Roh Kudus.
Kalau Tuhan Yesus sudah memberi keteladanan seperti itu, kita juga harus mengikuti-Nya, yakni bergantung sepenuhnya pada Roh Kudus, karena hari-hari yang kita hidupi ini sungguhlah jahat.
“Akan tetapi Ia mengundurkan diri ke tempat-tempat yang sunyi dan berdoa.” (Lukas 5:16).
“Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan.” (Efesus 5:15-17).
Ketika Roh Kudus bekerja, Dia selalu bekerja untuk mengubah apa yang berada di dalam hati kita terlebih dahulu baru merubah ke luar. Roh Kudus bekerja di dalam hidup, membentuk karakter kita sehingga dapat serupa seperti Kristus. Roh Kudus bekerja ke luar dengan menghasilkan buah dan karunia-Nya di dalam hidup, agar kita dapat melayani dan memuliakan nama-Nya.
Roh Kudus adalah Roh Kebenaran (Yohanes 14:16-17) yang membenarkan dan menguduskan hidup kita. Ketika hidup oleh Roh Kudus, maka Dia yang akan memimpin setiap kita untuk tidak menuruti keinginan daging (Galatia 5:16) dan memberi kemenangan di dalam hidup.
Bagaimana tanda dari seseorang yang hidupnya dipenuhi dan dikuasai Roh Kudus?
Tanda Pertama. Suka menceritakan perbuatan dan kebaikan Tuhan di dalam hidupnya, pada sesamanya.
“Mereka semua tercengang-cengang dan heran, lalu berkata: “Bukankah mereka semua yang berkata-kata itu orang Galilea? Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita: kita orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, kita mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah.” (Kisah Rasul 2:7-11).
“(both Jews and converts to Judaism); Cretans and Arabs—we hear them declaring the wonders of God in our own tongues!” (New International Version, NIV).
Mereka menceritakan perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah, dan tidak tahan untuk tidak membagikan anugerah dan kasih setia-Nya yang selama ini telah dialaminya. Semua pasti meluber keluar dari dalam hidupnya, dan otomatis dilakukan untuk berbagi kasih dan kebaikan Tuhan.
“Sebab tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar.” (Kisah Rasul 4:20).
Hidup yang dipimpin dan dipenuhi Roh Kudus juga akan menyampaikan kebenaran firman Tuhan dan kebaikan-Nya, dengan kuat kuasa-Nya.
Dari Penyangkal menjadi Pemenang Jiwa.
“Sementara itu Petrus duduk di luar di halaman. Maka datanglah seorang hamba perempuan kepadanya, katanya: “Engkau juga selalu bersama-sama dengan Yesus, orang Galilea itu.” Tetapi ia menyangkalnya di depan semua orang, katanya: “Aku tidak tahu, apa yang engkau maksud.” Ketika ia pergi ke pintu gerbang, seorang hamba lain melihat dia dan berkata kepada orang-orang yang ada di situ: “Orang ini bersama-sama dengan Yesus, orang Nazaret itu.” Dan ia menyangkalnya pula dengan bersumpah: “Aku tidak kenal orang itu.” Tidak lama kemudian orang-orang yang ada di situ datang kepada Petrus dan berkata: “Pasti engkau juga salah seorang dari mereka, itu nyata dari bahasamu.” Maka mulailah Petrus mengutuk dan bersumpah: “Aku tidak kenal orang itu.” Dan pada saat itu berkokoklah ayam. Maka teringatlah Petrus akan apa yang dikatakan Yesus kepadanya: “Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.” Lalu ia pergi ke luar dan menangis dengan sedihnya.” (Matius 26:69-75).
Dari ayat di atas kita dapat belajar ada tiga level penyangkalan yang dilakukan Petrus,
Pertama. Menyangkal biasa. Kedua. Menyangkal dengan bersumpah. Ketiga. Menyangkal dengan mengutuk.
Pada saat itu, Petrus mengalami ketakutan. Sang Guru yang diikutinya selama ini telah ditangkap, diadili di hadapan Mahkamah Agama, dan juga telah disiksa. Tetapi kita belajar bahwa Petrus yang sama dari seorang penakut dan penyangkal, ketika Roh Kudus memenuhi hidupnya (Kisah Rasul 2:4) berubah menjadi seorang pemenang jiwa. Alkitab mencatat setelah momen Roh Kudus memenuhi semua orang percaya yang berkumpul di suatu tempat, Petrus bangkit berdiri dengan kesebelas rasul tersebut dan dengan suara nyaring dirinya berkhotbah pada semua orang Yahudi dan yang tinggal di Yerusalem (ayat 14-40).
Di ayat 41 dikatakan pada kita,
“Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa.”
Christ is Enough for Me.
Ditulis dari berbagai sumber, sekitar kurang dari dua ratus tahun lalu terjadi sebuah kebangunan rohani besar yang melanda kota Wales. Sama seperti kebangunan rohani lainnya, terjadi banyak pengutusan misionaris ke berbagai tempat yang belum pernah dijangkau Injil Kristus. Dengan hati yang berapi-api, orang-orang percaya ini mengumpulkan segala milik mereka, dan mereka membawa pesan, kabar sukacita, dan anugerah keselamatan Kristus sampai ke seluruh penjuru dunia.
Banyak yang datang ke India, sebuah tanah yang dikuasai berbagai suku, penyembahan berhala, dan juga banyak dewa. Tempat ini adalah tempat yang berbahaya, khususnya di wilayah timur laut Assam, di mana praktik berburu kepala manusia bertumbuh dengan subur. Kepala manusia di tempat tersebut telah menjadi bentuk mata uang, dan juga simbol kekuasaan, dan ketakutan.
Seorang misionaris dari Wales mulai datang dan menyebarkan Injil di seluruh Assam, dan kemudian terjadi pertobatan. Namun pertobatan sebuah keluarga justru menjadi kontroversi besar. Pemimpin dari penduduk lokal / kepala sukunya menjadi sangat marah pada keluarga yang berani memeluk agama Kristen, agama baru yang dibawa masuk misionaris dari Wales itu.
Kemarahan kepala suku menjadi semakin meluap dan menimbulkan ancaman serius bagi keluarga tersebut, khususnya bagi kepala keluarganya. Apalagi dia telah menceritakan tentang Tuhan Yesus pada penduduk lainnya, yang kemudian banyak yang percaya dan mengikut Dia. Tentu saja hal ini malah membuat kepala suku menjadi semakin marah, hingga suatu hari seluruh penduduk desa diundang untuk menghadiri pertemuan warga. Di hadapan semua orang, pria tersebut dan seluruh keluarganya diperintahkan untuk menyangkali iman mereka pada Kristus.
Tetapi tidak ada yang mau melakukan hal tersebut. Sebaliknya, pria ini malah mengucapkan kalimat sederhana,
“Saya sudah memutuskan untuk mengikut Yesus. Tidak akan berpaling, tidak akan berpaling.”
I have decided to follow Jesus. Not turning back, not turning back.
Kepala suku menjadi semakin marah. Dia memerintahkan pemanah untuk membunuh dua orang anak laki-lakinya pada saat itu juga di hadapannya. Lalu kepala suku mulai mengancam agar menyangkal imannya. Dan sekali lagi, pria tersebut menunjukkan iman yang teguh di tengah gelombang ketakutan yang ada,
“Walau tidak ada yang mengikutiku, aku akan tetap mengikuti-Nya. Tidak akan berpaling, tidak akan berpaling.”
Though no one joins me, still I will follow. No turning back, no turning back..
Melihat hal itu kepala suku tersebut segera memerintahkan untuk membunuh istrinya. Darah pun mengalir membasahi bumi pertiwi, namun pria tersebut matanya tetap tertuju pada Tuhan Yesus dan berseru,
“Salib di depanku, dunia di belakangku. Tidak ada jalan kembali, tidak ada jalan kembali.”
The cross before me, the world behind me, No turning back, no turning back..
Dan akhirnya, sama seperti istri dan anak-anaknya, pria tersebut pada akhirnya dibunuh. Para petobat lainnya yang menyaksikan hal tersebut menunggu dengan hati gusar, bagaimana nasib mereka untuk selanjutnya.
Namun pemandangan tersebut justru membuat hati kepala suku sangat terganggu. Bagaimana mungkin keluarga ini sampai berani menunjukkan keberanian seperti itu? Siapa itu Yesus Kristus, hingga satu keluarga ini rela untuk menyerahkan nyawanya, bagi Dia? Kuasa apa yang dimiliki Allah yang baru ini? Dan ketika tertegun, tanpa disadari kepala suku jatuh berlutut. Dia telah melihat begitu banyak kematian di dalam hidupnya—tetapi tidak pernah melihat kematian seperti ini.
Hanya ada satu pilihan. Dia, dan seluruh warga desanya harus mengikut Tuhan Yesus.
Tanda Kedua. Menang atas sikap negatif.
Yesus berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34).
Saat Tuhan Yesus berada di atas kayu salib, Dia tidak berkata-kata negatif ataupun mengumpat mereka yang telah menyiksa-Nya. Sekalipun Dia memiliki kuasa, tetapi Dia tidak menggunakannya untuk memanaskan api neraka seratus kali lipat sebagai ajang balas dendam bagi siapa saja yang sudah terlibat dalam momen penyaliban-Nya.
Firman Tuhan mengatakan,
“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Filipi 2:5-11).
Dan sama seperti yang telah diteladankan-Nya di dalam momen penyaliban, di mana Dia tidak berkata-kata jahat dan taat pada kehendak Bapa.. Dia telah menang dari sikap hati negatif, yang kalau kita berada di posisi-Nya, bisa jadi kita akan membalas dendam perlakuan dari orang-orang yang telah menyakiti kita.
Melalui keteladanan-Nya kita belajar,
Menang atas sikap negatif memiliki arti kita berani untuk memutuskan bahwa hanya firman Allah dan Roh Kudus yang berada di dalam hati kita yang berhak untuk mendikte bagaimana sikap dan bahagia kita, bukan faktor eksternal negatif dari luar. Karena bagaimanapun juga,
Hidup ini adalah mengenai sepuluh persen yang terjadi pada kita, dan sembilan puluh persen tentang bagaimana respon kita terhadap apa yang terjadi.
Bermula dari Kopi Panas.
Ada seorang anak di pagi hari yang tidak sengaja menyenggol dan menumpahkan secangkir kopi panas di baju ayahnya. Karena sudah berpakaian rapi dan mau berangkat bekerja, ayahnya meledak di dalam amarah dan memarahi anaknya. Tidak cukup berbuat itu, dia lalu memanggil, memarahi, dan menjelek-jelekkan istrinya. Mendengarnya, istrinya tidak terima dan mereka bertengkar hebat pada pagi itu. Karena harus segera pergi bekerja, istrinya berkata bahwa nanti sore sepulang kerja, akan dilanjutkan “ronde kedua” pertengkaran mereka.
Karena anaknya dimarahi ayahnya, pada akhirnya tertinggal bus sekolah, dan ikut berangkat ke sekolah dengan mobil ayahnya. Di dalam perjalanan, sang ayah terus marah-marah, dan menyetir dengan kecepatan tinggi. Singkat cerita, ayahnya ditilang polisi, dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk prosesnya. Padahal pada pagi hari itu sang ayah harus melakukan presentasi yang super penting di hadapan para investor, dan kalau berhasil, akan mendapat reward luar biasa.
Setelah selesai ditilang, ayahnya segera melanjutkan perjalanan mengantar anaknya di sekolah, dan sampai di tempat pekerjaan dalam waktu yang sangat mepet. Bosnya memarahi ayahnya ini, mengapa dirinya tidak bisa datang lebih awal. Dan setelah ditanya mengenai persiapannya untuk presentasi, ternyata laptopnya ketinggalan di meja rumah. Pada saat presentasi dirinya tergagap, dan pada akhirnya pihak investor tidak jadi berinvestasi. Tawaran reward dari sang bos pun terbang melayang. Gajinya pun malah diturunkan.
Jadi, mengapa hari buruk itu terjadi?
Apakah karena secangkir kopi panas yang tumpah? Atau karena kecerobohan anaknya? Atau karena ditilang polisi, sehingga banyak waktunya yang terbuang? Atau mungkin, karena keputusan dan respon ayahnya sendiri di pagi hari itu?
Bila kita ulang kembali kejadiannya.. Kopi yang panas bisa saja tetap tumpah pada pagi hari itu, tetapi sang ayah memilih untuk berespon meredakan amarah dan mengatasi sikap negatifnya. Sang ayah dapat berkata pada anaknya,
“Kopi ini panas, tetapi adik tidak apa-apa kan? Apakah terkena air panasnya juga?”
Lalu ayahnya bisa melanjutkan dengan mengatakan kalau dirinya di pekerjaan ada presentasi, dan bisa segera ganti baju akibat ketumpahan kopi panas tersebut. Sang ayah masih bisa memutuskan untuk tidak terpancing dengan amarah berkepanjangan. Karena bagaimanapun juga, keputusan dan respon yang diambil sang ayah pada pagi hari itu, akan menentukan tidak hanya hari yang akan dilaluinya saja, tetapi juga hari yang dilalui setiap anggota keluarganya. Sang ayah masih memiliki pilihan untuk dapat menang atas sikap negatif di pagi hari itu, dan tidak dikuasai amarah yang nantinya malah merugikan kehidupannya sendiri.
Kedekatan kita yang dibangun bersama Roh Kudus di setiap harinya yang akan memampukan setiap kita untuk dapat berkata,
“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34).
Tetapi kalau kita tidak memiliki hubungan yang karib dengan Roh Kudus, maka hal-hal seperti di atas akan memicu kemarahan dan kejengkelan di dalam hati dan di hidup kita.
Ujian Kesabaran di Tempat Parkir.
Pada suatu hari, Pdt. Saron berpergian bersama keluarga di sebuah mall. Saat memundurkan kendaraannya di sebuah area di tempat parkir, tiba-tiba dari belakang ada mobil yang menyelonong dan memaksa masuk di area, di tempat di mana Pdt. Saron hendak memarkirkan kendaraannya. Secara refleks Pdt. Saron terpancing amarah, menekan klakson mobilnya, dan ingin segera turun karena tempat parkirnya diserobot.
Lalu istrinya berusaha meredakan emosinya,
“Sabar. Tidak usah turun. Kamu sekarang sudah jadi Pendeta loh. Lebih baik kita mencari tempat parkir lainnya saja..”
Dan tidak jauh dari area tersebut, ada satu lahan kosong yang bisa ditempati kendaraannya. Istrinya kembali mengatakan,
“Kalau seandainya tadi kamu tidak bisa menguasai diri dan tidak bisa menang atas sikap negatif.. coba bayangkan apa yang terjadi bila yang keluar dari kendaraan yang menyelonong tadi itu adalah salah satu dari jemaatmu?”
Dan sekali lagi melalui kisah Pdt. Saron kita dapat belajar,
Hidup ini adalah mengenai sepuluh persen yang terjadi pada kita, dan sembilan puluh persen tentang bagaimana respon kita terhadap apa yang terjadi.
Tanda Ketiga. Menang atas keinginan dirinya sendiri.
“Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (Lukas 22:42).
Sebagai manusia, setiap kita diberi kehendak bebas oleh Bapa untuk menentukan pilihan. Dan saat pilihan yang harus diambil itu bersinggungan dengan kehendak Allah di dalam firman-Nya, keputusan dan kehendak siapakah yang akan menang? Apakah keputusan kita? Atau kehendak-Nya?
Di dalam doa yang dinaikkan Tuhan Yesus, kita dapat belajar bahwa Dia sudah menang atas keinginan diri-Nya sendiri. Dia lebih memilih untuk memenangkan kehendak Bapa-Nya, bukan kehendak diri-Nya sendiri.
Di dalam hidup ini ada dua jenis manusia,
Pertama. Manusia yang menjadikan / memanfaatkan Tuhan hanya sebagai sarana / alat untuk mencapai tujuan pribadinya saja. Kedua. Manusia yang menjadikan Tuhan sebagai sasaran dan tujuan satu-satunya, di dalam hidupnya. Di dalam jenis manusia yang kedua ini mempercayai bahwa apa pun keadaan yang diizinkan-Nya terjadi, dirinya tetap percaya bahwa keadaan tersebut masih bisa dipakai Tuhan untuk dapat menyatakan kemuliaan-Nya.
“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Matius 6:33).
Firman Tuhan yang tertulis di atas juga mengajar kita untuk mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya terlebih dahulu, lebih dari sekadar memuaskan keinginan kita sendiri. Dan bila mau jujur, seberapa sering kita memanfaatkan dan menggunakan Tuhan hanya untuk memuaskan dan menyukseskan hawa nafsu kita saja?
Kita rajin beribadah di gereja hanya untuk sekadar mencari jodoh, hanya sekadar untuk mendapat berkat dan keuntungan saja. Hubungan karib yang dibangun bersama-Nya hanya sekadar untuk memperlancar bisnis kita.. semua hanya sekadar hubungan timbal balik, kalau Tuhan memberkati kita, maka kita akan setia mengiring Tuhan. Bukan karena kita benar-benar mengasihi-Nya.
Pada suatu hari ada seseorang yang mendapat info bila berbelanja di mall sebanyak Rp.500 ribu, maka akan mendapat hadiah satu payung cantik. Dan karena begitu tergoda dengan payung cantiknya, seseorang ini rela memberikan uangnya Rp.5 juta kepada sepuluh orang temannya. Apa tujuannya? Agar sepuluh orang temannya ini membelanjakan uangnya, dan dia akan mendapatkan sepuluh payung cantik kesukaannya.
Berapa banyak orang percaya yang seperti ini? Mendapat sepuluh payung cantik begitu dibangga-banggakan, tetapi uang sebesar Rp.5 juta begitu mudahnya untuk dikorbankan? Banyak dari kita yang begitu bersemangat di dalam mendapatkan isi dari dunia ini, tetapi hubungan bersama Kristus yang sesungguhnya jauh lebih mahal dan bernilai.. malah kita korbankan.
Selain itu, ketika keinginan kita tidak dijawab-Nya, kita menjadi marah. Kita merasa bahwa menjadi anak-anakNya seharusnya hidup kita selalu diberkati, bahkan kita juga mengutip firman Tuhan di dalam Ulangan 28:13-14,
“TUHAN akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun, apabila engkau mendengarkan perintah TUHAN, Allahmu, yang kusampaikan pada hari ini kaulakukan dengan setia, dan apabila engkau tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri dari segala perintah yang kuberikan kepadamu pada hari ini, dengan mengikuti allah lain dan beribadah kepadanya.”
Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, Tuhan mengizinkan kita berada di tempat yang selalu menguji dan memproses iman kita.
Ada seorang jemaat yang sudah lama tidak datang ke gereja, dan bertemu bapak pendetanya lalu meminta didoakan agar dapat menang judi sebanyak 2M. Dirinya mengatakan bila menang, maka 1M-nya dibuat untuk membayar hutang, lalu dirinya berjanji akan memberi perpuluhan bagi rumah Tuhan, dan juga berjanji mau setia datang ke gereja dan mengikut Tuhan lagi.
Tetapi pertanyaannya,
“Sejak kapan Tuhan Yesus punya hutang sama bapak ini, sehingga Dia harus membantu bapak tersebut untuk mendapatkan uang 2M dan membantu melunasi hutangnya?”
Melalui kisah bapak di atas kita dapat belajar, seberapa sering kita menjadikan Tuhan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan dan kepentingan pribadi kita saja selama ini? Bila Tuhan tidak menjawab keinginan kita, kita merasa Tuhan jahat dan kita memutuskan untuk tidak mau mengikuti-Nya lagi. Padahal Tuhan masih memiliki rencana yang jauh lebih baik, jauh lebih baik dari segala rencana terbaik yang kita miliki.
“Setelah mereka berkali-kali didera, mereka dilemparkan ke dalam penjara. Kepala penjara diperintahkan untuk menjaga mereka dengan sungguh-sungguh. Sesuai dengan perintah itu, kepala penjara memasukkan mereka ke ruang penjara yang paling tengah dan membelenggu kaki mereka dalam pasungan yang kuat. Tetapi kira-kira tengah malam Paulus dan Silas berdoa dan menyanyikan puji-pujian kepada Allah dan orang-orang hukuman lain mendengarkan mereka.” (Kisah Rasul 16:23-25).
Ketika Paulus dan Silas dilemparkan ke dalam penjara, bagi orang-orang hukuman lainnya mereka berdua sudah tidak bisa lepas dari perhatian kepala penjara tersebut. Tetapi hal yang sama pula berlaku bagi kepala penjara tersebut, dia juga tidak bisa lepas dari perhatian Paulus dan Silas.
Di dalam keadaan terjepit sekalipun, Tuhan bisa memakai Paulus dan Silas, dan juga hidup kita, untuk menyatakan kemuliaan-Nya.
Arthur Ashe : Tuhan, Mengapa Saya?
“Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan!” tetapi tidak Kautolong?” (Habakuk 1:2).
Sering kali kita merasa hidup kita sama seperti Habakuk yang mengalami penderitaan yang berat, kita sudah berteriak meminta tolong pada-Nya, tetapi Dia terkesan diam saja dan tidak berbuat apa-apa. Tak sedikit dari kita yang mungkin bertanya, mengapa harus kita yang melalui semua penderitaan ini, dan bukannya orang lain?
Dari berbagai sumber, di bawah ini adalah kisah dari Arthur Ashe yang merupakan sosok petenis legendaris keturunan kulit hitam asal Amerika yang mencetak sejarah kemenangan di Grand Slam Amerika Open (1968), Australia Open (1970) dan Wimbledon (1975).
Beberapa tahun setelah pensiun dari profesinya, Arthur harus menerima kenyataan bahwa dirinya terkena serangan jantung pada tahun 1979, dan mengharuskannya menjalani dua kali operasi. Tetapi bukannya malah sembuh, Arthur malah divonis terinfeksi HIV melalui transfusi darah yang diterimanya.
Setiap orang yang mengalami hal serupa tentu akan mempersalahkan Tuhan atas berbagai ujian berat yang datang menghampiri. Tetapi Arthur memiliki sikap berbeda. Dan saat seorang penggemar menulis surat padanya dan bertanya,
“Mengapa Tuhan memilihmu untuk menderita penyakit itu?”
Dia menjawab dengan kebesaran hati,
Di dalam dunia ini ada 50 juta anak yang ingin bermain tenis, di antaranya ada 5 juta orang yang bisa belajar bermain tenis, sebanyak 500 ribu orang bisa belajar menjadi pemain tenis profesional, 50 ribu datang ke arena bertanding, 5.000 orang bisa mencapai turnamen Grand Slam, 50 orang berhasil sampai ke Wimbledon. Empat orang di semi final, dua orang bisa berlaga sampai di final.
Ketika saya mengangkat trofi Wimbledon, saya tidak pernah bertanya kenapa Tuhan,
“Mengapa saya?”
Jadi ketika sekarang saya diizinkan berada di dalam keadaan sakit, tidak seharusnya juga saya bertanya kepada Tuhan, “Mengapa saya?”.
Arthur menunjukkan kebesaran hatinya untuk menerima penyakit kronis yang diizinkan Tuhan menggerogoti tubuhnya. Dia menyadari sebagai seseorang yang dipercaya menikmati puncak kesuksesan, dia pun sepatutnya harus belajar berlapang dada bila Tuhan mengizinkannya untuk mengalami sakit seperti itu. Arrhur belajar untuk bersikap tidak hanya mampu menerima yang baik, tetapi juga memiliki cukul kebesaran hati untuk belajar menerima sesuatu yang kurang baik.
Arthur tetap teguh di dalam pengharapan, bahkan di saat beban hidupnya terasa menekan semakin berat. Itulah cermin hidup orang beriman. Ketulusan dan keikhlasan hati Arthur tidak saja menyentuh, tapi juga mengetuk hati setiap orang yang hari-hari ini merasa memiliki masalah yang terasa berat, dan mau belajar mengucap syukur dalam segala keadaan. Arthur Ashe berkata,
If I were to say, ‘God, why me?’ about the bad things, then I should have said, ‘God, why me?’ about the good things that happened in my life.
Dan sama seperti yang dialami Arthur Ashe, mungkin kita tidak mengerti mengapa Tuhan membiarkan beberapa hal terjadi di dalam hidup kita. Tetapi satu hal yang harus kita percayai,
“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Roma 8:28).
Maka dari itu Habakuk menyelesaikan tulisannya,
“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.” (Habakuk 3:17-18).
Keadaan Habakuk setelah berdoa tetap tidak baik, namun keadaan hatinya semakin diubahkan. Habakuk semakin bergantung, berharap, dan menjadikan TUHAN sebagai sasaran dan tujuan satu-satunya di dalam hidupnya.
Apa pun keadaan yang hari-hari ini diizinkan Tuhan untuk kita lalui, tetaplah memiliki hubungan yang karib dan selalu dipenuhi Roh Kudus. Tetaplah menceritakan perbuatan dan kebaikan Tuhan di dalam hidup kita, pada sesama. Tetap menang atas sikap negatif, dan juga atas keinginan diri sendiri. Jadikan Tuhan sebagai sasaran dan tujuan satu-satunya di dalam hidup kita. Apa pun keadaan yang diizinkan-Nya terjadi, teruslah mempercayai bahwa keadaan tersebut masih bisa dipakai Tuhan untuk kita dapat menyatakan kemuliaan-Nya.
Amin. Tuhan Yesus memberkati..
Comments