Catatan Khotbah: “Pohon Apakah Ini ? (Masih Ada Kesempatan).” Ditulis ulang dari sharing khotbah Bp. Pdt. Gunawan Iskandar di Ibadah Minggu di MDC Graha Pemulihan pada Tgl. 3 November 2024..
“Lalu Yesus mengatakan perumpamaan ini: “Seorang mempunyai pohon ara yang tumbuh di kebun anggurnya, dan ia datang untuk mencari buah pada pohon itu, tetapi ia tidak menemukannya. Lalu ia berkata kepada pengurus kebun anggur itu: Sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan percuma! Jawab orang itu: Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!”” (Lukas 13:6-9).
Ada sesuatu yang spesial dari perumpamaan yang dibagikan Tuhan Yesus di ayat di atas, di mana di dalam kebun anggur tersebut, ada pohon ara yang sudah lama dibiarkan bertumbuh di tengah-tengahnya. Entah karena pohon ara ini sangat spesial di hati pemilik kebun anggur, atau mungkin pohon ara ini memang kesukaan favoritnya.. kita membaca bahwa pohon ara ini dipertahankan untuk tetap berada di kebun anggur tersebut, sebelum pemiliknya hendak menebangnya.
Hal ini mengingatkan Pdt. Gunawan tentang kisah yang pernah terjadi di masa lampau, di mana Ayahnya membeli sebidang tanah yang nantinya hendak dipergunakan untuk membangun sebuah gudang. Di tengah lahan kosong tersebut, Ayahnya melihat ada pohon mangga Indramayu yang berdiri menjulang tinggi, dan buahnya banyak. Saat dipetik dan dicoba, buahnya terasa enak. Karena merasa sayang kalau pohon mangga tersebut ditebang, akhirnya Ayahnya memutuskan mundur beberapa meter untuk membangun gudangnya.
Bisa jadi pemilik dari kebun anggur tersebut juga memiliki harapan yang sama terhadap pohon ara, yakni agar dapat berbuah. Atau bisa jadi pohon ara ini sempat berbuah, dan pemilik kebun anggur pernah mencicipi rasa manis dari buahnya. Tetapi entah apa yang terjadi, pohon ara ini berhenti berbuah selama tiga tahun. Pemiliknya merasa kalau memang sudah tidak bisa lagi berbuah, lebih baik pohon ara ini segera ditebang.
Melalui kisah pohon ara yang bertumbuh di tengah kebun anggur, kita dapat belajar agar berhati-hati dengan apa yang namanya God’s Favor / Perkenanan Tuhan. Sebab perkenanan-Nya diberikan dengan memiliki tujuan tidak hanya agar hidup kita dapat diberkati dan dipelihara Tuhan, tetapi juga supaya kita dapat menghasilkan buah di dalam hidup ini. Bila di sepanjang hidup kita tidak pernah ada buah yang dihasilkan, maka sama seperti yang tertulis di ayat di atas, pohon tersebut bisa jadi akan ditebang dan dibuang.
Pemiliknya akan merasa bahwa keberadaan pohon tersebut sudah tidak berguna lagi, hanya “memakan tempat”, dan lahannya bisa dipergunakan untuk menanam pohon lainnya.
Pertama. Tujuan bertumbuh adalah untuk menghasilkan buah.
Adalah hal yang percuma bila selama ini kita bertumbuh, tetapi sama sekali tidak pernah menghasilkan buah. Mungkin saja kita memiliki alasan klasik, di mana selama ini kita merasa tidak dapat bertumbuh di sebuah gereja, sehingga pada akhirnya mencari alternatif pilihan lainnya.
Tetapi tujuan sebenarnya kita sebagai orang Kristen pada akhirnya bukan hanya supaya kita dapat mengalami pertumbuhan saja, tetapi juga menghasilkan buah. Sama seperti kisah di atas, pemilik kebun anggur merindukan hadirnya buah yang manis dari pohon ara tersebut. Jadi bukan hanya sekadar pertumbuhan yang rindang saja, tetapi juga adanya buah yang manis, sehingga Tuhan disukakan melalui hidup kita.
“Tujuan kita dalam bergereja bukanlah untuk merasa diri dapat menjadi lebih baik, tetapi untuk memberi rasa lebih baik kepada orang lain.”
Jadi tujuan kita berkomunitas bukan hanya sekadar supaya kita feeling good / merasa baik, dan kalau tidak beribadah di gereja pada hari Minggu rasanya ada yang missing / kurang sebagai orang Kristen.
Pdt. Gunawan pernah mengadakan survei kecil-kecilan pada mahasiwa yang kuliah di Singapura, yang digembalakannya. Mereka berkata kalau tidak pergi ke gereja pada hari Minggu, rasanya ada yang kurang. Ketika ditanya apa yang mereka lakukan pada hari Sabtu? Mereka berkata ke clubbing. Lebih lanjut mereka juga menjawab kalau hari Sabtu tidak clubbing, rasanya juga ada yang kurang.
Jadi bisa disimpulkan, kalau tidak pergi clubbing di hari Sabtu dan beribadah ke gereja pada hari Minggu, maka sensasi yang dihasilkan keduanya itu sama yakni, ada yang kurang / missing.
Ketika anak-anak di sekolah minggu ikut ditanya, mengapa mereka pergi ke gereja pada hari Minggu? Anak-anak tersebut menjawab,
“Agar tidak dimarahi Papa dan Mama.”
Jadi kesimpulannya, anak-anak ke gereja juga hanya sekadar “untuk absen” supaya mereka feeling good / merasa baik, dan tidak dimarahi kedua orang tuanya. Supaya mereka juga tidak perlu berbohong, karena mereka benar-benar sudah ke gereja.
Sebagai seorang Kristen yang mengasihi Tuhan, kita seharusnya pergi beribadah bukan hanya untuk feeling good / merasa baik tetapi juga untuk “memberi rasa” bagi orang-orang di sekitar.
Mengapa pohon berbuah?
Apakah kita pernah melihat ada pohon yang memakan buahnya sendiri? Kita tidak akan pernah menjumpainya. Tetapi justru yang menikmati manis dari buahnya adalah orang-orang yang ada di sekitarnya, bahkan mungkin ada berbagai jenis hewan yang juga ikut menikmatinya. Jadi pohon berbuah bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dinikmati makhluk hidup sekitarnya.
“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.” (Matius 5:13).
Sebagai orang Kristen, di ayat di atas dikatakan bahwa kita adalah garam dunia. Garam sendiri merupakan salah satu bumbu yang harus ditambahkan di dalam sebuah masakan. Dengan takaran yang secukupnya, rasa makanan dapat berubah menjadi lebih mantap dibanding dengan makanan yang tidak dikasih garam.
Demikian juga dengan alasan mengapa kita diberikan waktu dan kesempatan untuk hidup di dalam dunia ini, mengapa kita ditempatkan untuk berkomunitas di dalam rumah Tuhan. Tujuannya bukan supaya kita dapat feeling good, tetapi supaya kita dapat memberi rasa pada orang lain.
Tiga Akar Permasalahan.
“Yang membuat hidup seseorang tidak dapat berbuah bukan karena komunitasnya, namun sering kali masalah sebenarnya berada pada akarnya, yang tidak pernah tuntas.” (George Barna).
Kalau kita membaca ayat firman Tuhan di atas,
“Jawab orang itu: Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!” (Lukas 13:8-9).
Kita akan menemukan bahwa pemilik dari kebun anggur meminta agar pengurusnya menebang pohon ara itu. Tetapi di ayat selanjutnya dikatakan bahwa, pengurusnya ini meminta waktu satu tahun lagi untuk “mencangkul tanah di sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya.”
Apa maksudnya?
Pengurus tersebut hendak memberitahukan pada pemilik kebun anggur, dan juga pada kita, jangan-jangan masalah sebenarnya dari pohon ara tersebut terletak pada akarnya yang bermasalah, dan tidak pernah mau untuk dibereskan.
Melaluinya kita dapat belajar. Tidak sedikit dari kita yang selama ini mau evaluasi diri dan bertanya, apa yang membuat hidup kita tidak lagi dapat berbuah, dan tidak lagi dapat memuliakan nama-Nya.
Di dalam Alkitab, kita diberitahu setidaknya ada tiga akar permasalahan yakni,
Akar Pertama. Cinta Uang – Keduniawian.
“Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.” (1 Timotius 6:10).
Cinta Uang di bagian ini dapat berbicara tentang segala hal keduniawian, dan rasa aman kita yang diletakkan pada seberapa sukses materi yang dapat kita kumpulkan dari dalam dunia ini.
Karena itulah tidak sedikit dari orang Kristen yang selama ini hidupnya telah bersungguh hati kepada Tuhan, bisa jadi beberapa di antaranya ada yang memiliki alasan hanya sekadar ingin agar hidupnya diberkati. Mindset / pola pikir yang dimiliki mengenai kata “berkat” hanya sebatas dengan apa yang namanya materi.
Sehingga fokus di dalam hidup kita pada saat beribadah dan mengikut Tuhan hanyalah sekadar untuk keduniawian semata. All the dream that we want to rich and catch out / semua mimpi yang ingin kita raih sifatnya hanyalah sebatas materialistik dan keduniawian. Rasa aman di dalam hidup kita sekarang diletakkan dan hanya dinilai pada banyaknya materi yang ingin diraih, tidak lagi diletakkan di dalam Tuhan.
Bagi orang-orang di akar yang pertama ini, uang adalah segala-galanya di dalam hidupnya.
“Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Lukas 16:13).
Kalau kita membaca di dalam Alkitab, Tuhan tidak pernah membandingkan diri-Nya dengan Iblis dan lainnya, tetapi justru dengan Mamon / sebuah istilah yang menurut Wikipedia Indonesia memiliki arti merendahkan, mencari keuntungan secara tidak benar, keserakahan, sesuatu yang bernilai materi seperti uang, harta benda, kekayaan duniawi yang lebih menguasai hati seseorang dibanding dengan pelayanannya pada Allah.
Mengapa Tuhan membandingkan diri-Nya dengan Mamon? Karena Mamon ini begitu memikat dan mengikat hati manusia, sehingga pada akhirnya apa yang namanya keduniawian dan juga materialistik yang sangat didamba, dan rasa aman yang dikejar selama ini di sepanjang hidup.. akan membuat kita tiba di satu titik di mana kita sudah tidak mau lagi berharap dan mengandalkan Tuhan.
Kita menganggap segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini hanya dapat dinilai dan diselesaikan dengan sejumlah uang saja.
Akar Kedua. Kepahitan – Kekecewaan yang tak terselesaikan.
“Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang.” (Ibrani 12:15).
Para peneliti di dalam dunia ini menuliskan riset bahwa yang namanya kekecewaan dan kepahitan yang tidak dengan segera diselesaikan, dampaknya bisa berbahaya bagi kesehatan tubuh kita. Ada banyak orang yang kesehatannya terganggu, karena dirinya tidak mau menyelesaikan segala kepahitan dan kekecewaan di dalam hidupnya.
“Lalu malaikat yang ketiga meniup sangkakalanya dan jatuhlah dari langit sebuah bintang besar, menyala-nyala seperti obor, dan ia menimpa sepertiga dari sungai-sungai dan mata-mata air. Nama bintang itu ialah Apsintus. Dan sepertiga dari semua air menjadi apsintus, dan banyak orang mati karena air itu, sebab sudah menjadi pahit.” (Wahyu 8:10-11).
Berhati-hatilah dengan apa yang namanya akar pahit dan kekecewaan yang tidak segera diselesaikan. Sebuah pohon yang pada mulanya bertumbuh subur dan berbuah banyak.. tidak lagi dapat berbuah dikarenakan ada akarnya yang membusuk, yang tidak pernah diselesaikan dan dituntaskan. Hidup kita juga bisa hancur dan meninggalkan kasih karunia-Nya, hanya karena satu alasan, kepahitan dan kekecewaan yang tidak mau kita selesaikan dengan segera.
Kalau saja setiap kita mau mengambil tanggung jawab dengan baik dan benar di dalam hidup ini, maka setiap keluarga pasti akan mengalami pemulihan dan perubahan yang luar biasa.
Kalau saja kita mau berhenti untuk berpikir sejenak mengapa bila di dalam keluarga, kita ini selalu memiliki masalah dengan kemarahan dan ketidaksabaran. Tetapi ketika kita berkata-kata dan bersikap dengan orang lain, kita bisa menjadi lebih sabar dan tidak mudah marah. Di dalam rumah kalau sapaan kita tidak dianggap, kita bisa marah besar. Tetapi terhadap orang lain, kita bisa bersikap menyenangkan. Bila berbicara dengan orang tua, batas atas waktu kita hanya lima menit. Lebih dari lima menit, yang terjadi malah kita bisa ribut dengan kedua orang tua kita.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesabaran kita itu begitu tipis—sama seperti akar pohon yang tumbuhnya tidak sampai mendalam mendekati sumber air, maka akar kita juga bisa berubah menjadi ikut tipis. Mengapa hal ini terjadi? Bisa jadi diakibatkan banyak himpitan yang berupa kekecewaan dan kepahitan yang tidak dengan segera diselesaikan. Sehingga pada akhirnya, pohon tersebut tidak memiliki kesempatan untuk dapat bertumbuh dan juga berbuah.
Bertumbuh memang iya, tetapi hanya sebentar saja dan tidak dapat menghasilkan buah, karena akarnya bermasalah. Akarnya tidak bisa tembus sampai ke dalam tanah, sehingga pohon tersebut tidak dapat bertumbuh dengan baik seperti yang seharusnya, dan menghasilkan buah.
Ketika datang untuk beribadah bersama, ada beberapa orang yang juga mengalami kesulitan untuk just enjoy the worship / hanya sekadar menikmati penyembahan dan ibadah yang ada.
Yang terjadi pada saat dirinya masuk dan duduk di dalam ruang ibadah, yang ada hanyalah kritik di dalam pikirannya. Semua disalahkan, mulai dari AC yang terlalu dingin, bisa terlalu panas, mengapa tempat duduknya seperti ini, mengapa nada musiknya seperti ini, menyanyikan lagu lama salah, menyanyikan lagu baru juga salah karena tidak bisa dinyanyikan. Dari awal ibadah sampai selesai ibadah, sangat sulit untuk enjoy. Selalu ada saja yang disalahkan di dalam ibadah tersebut.
Kita harus berdoa, berpikir, mengoreksi, dan menggali sedikit lebih dalam, instropeksi.. bertanya kepada Tuhan, apa yang salah dari hidup kita? Mengapa kita tidak bisa menjadi seperti orang lain, yang datang dan bisa menikmati penyembahan, tanpa harus komplain apa-apa?
Disalami usher / penerima tamu salah, tidak disalami juga salah. Ditegur salah, tidak dikasih teguran juga salah. Mem-posting di Instagram di-likes salah, tidak di-likes juga salah.
Di dalam hidup, menurut kita sepertinya semua orang ini tidak ada yang benar. Akhirnya kita menjadi stres dan mudah terluka / irritated dengan pendapat dari orang lain. Mengapa?
Karena akarnya. Kita tidak pernah menggali lebih dalam dan mencari, apa yang sesungguhnya selama ini salah dengan hidup kita.
Berkata sama orang lain bisa lebih sabar dan menyenangkan, tetapi kalau sama anggota keluarga sendiri bawaannya selalu marah dan emosi terus. Bisa jadi perkataan kita lebih menyenangkan kalau sama pembantu, tetapi bila sama pasangan perkataan kita nadanya berbeda. Sama suami, kita mudah curiga. HP suami berbunyi pada malam hari, kita langsung merasa nervous / gugup. Mungkin saja kita kebanyakan nonton film drama Korea, yang temanya tentang betrayal / pengkhianatan.
Kita bisa instropeksi dan bertanya pada Tuhan, mengapa kita selalu berpikiran negatif terhadap orang lain yang ada di dalam hidup kita?
Orang tua juga selalu berpikir negatif terhadap anak-anaknya. Tetapi terhadap anak orang lain, semua dibelain. Anak orang lain bisa diajak berbicara akrab dan berjam-jam, dilatih, diperhatikan.. tetapi sama anak sendiri baru cerita sebentar langsung dibodoh-bodohkan. Semua yang dilakukan anak kita, semuanya salah.
Cobalah berpikir sejenak. Selama ini, adakah yang salah dengan hidup kita? Cobalah menggali lebih dalam, siapa tahu permasalahan sesungguhnya berada di dalam diri kita sendiri.
Mengapa kita harus berbuah?
Kalau saja setiap orang mau mengambil tanggung jawab di dalam hidupnya, mau menggali lebih dalam, dan memiliki kerinduan untuk mau berbuah di manapun mereka berada.. supaya nantinya yang akan menikmati manisnya buah tersebut bukanlah kita, tetapi anggota keluarga kita yang pertama kalinya akan menikmati buahnya.
Mengapa seorang suami harus menjaga hidupnya bersih dan berintegritas di hadapan Tuhan dan sesama? Supaya dirinya kelak dapat meninggalkan legacy / warisan tidak hanya berupa harta benda saja tetapi juga keteladanan hidup dan iman.. agar setiap anggota keluarganya nanti juga dapat diberkati dan dipelihara sama Tuhan.
“Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti; tiap hari ia menaruh belas kasihan dan memberi pinjaman, dan anak cucunya menjadi berkat.” (Mazmur 37:25-26).
Kalau saja setiap pria mau menjaga hidupnya bersih di hadapan Tuhan, maka dirinya bisa tergolong orang-orang yang hidupnya benar di mata Tuhan. Dan hidup orang benar, anak cucunya tidak akan pernah meminta-minta roti.
Mengapa kita harus berbuah? Karena kita harus meninggalkan legacy pada anak cucu kita. Supaya manisnya buah kita itu dapat dinikmati anggota keluarga kita, dan juga oleh orang-orang yang ada di sekitar kita. Hidup yang kita jalani ini sebenarnya bukan hanya sekadar berfokus tentang kita saja, tetapi juga tentang orang-orang di sekitar yang Tuhan sudah percayakan di dalam hidup kita.
“Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang.” (Ibrani 12:15).
Di ayat di atas, akar yang pahit itu bisa menimbulkan kerusuhan. Seseorang yang memilih untuk terus mempertahankan egonya terhadap kepahitan, kebencian, dan kekecewaan di dalam hatinya.. maka ke manapun dirinya pergi, dia akan selalu menimbulkan masalah.
Kita harus mengambil tanggung jawab atas hidup kita sendiri. Galilah lebih dalam. Selidikilah setiap motivasi yang ada di dalam diri kita. Itulah sebabnya firman Tuhan di Lukas mengingatkan,
“Jawab orang itu: Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!” (Lukas 13:8-9).
Marilah memeriksa diri kita, apakah selama ini ada yang salah dengan akar di dalam hidup kita? Adakah akar kepahitan dan kekecewaan?
Akar Ketiga. Fokus Diri Sendiri Vs. Kristus.
“Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.” (Kolose 2:7).
Apakah selama ini fokus yang ada di dalam hidup kita telah dibangun di atas dasar ego kita sendiri? Atau Tuhan yang menjadi dasar di hidup kita? Semua ini berbicara tentang kepentingannya siapa? Apakah Tuhan lebih tinggi? Atau ego kita?
Seseorang yang fokus hidupnya dibangun di atas dasar Kristus, maka hidupnya akan penuh dengan ucapan syukur. Kalau hidupnya dibangun dan berakar hanya di atas dasar ego diri sendiri, maka banyak keluh kesah yang keluar dari mulutnya.
Sama seperti bangsa Israel, hidupnya selalu penuh dengan omelan dan Tuhan sendiri mengatakan bahwa mereka adalah bangsa yang tegar tengkuk. Mereka selalu menggerutu, mulai dari kurang makan, tidak ada air, tidak ada penerangan, panas, dingin, punya rumah, tidak memiliki rumah.. semua dibuat alasan untuk mengomel. Ini semua karena ego mereka jauh lebih penting dibanding Tuhan.
“karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” (Filipi 2:2-4).
Kalau kita menganggap orang lain jauh lebih penting dari ego kita, maka setiap permasalahan yang besar jadi mengecil, setiap masalah kecil jadi tidak seberapa berarti. Berapa banyak dari kita hanya karena masalah sepele saja bisa bertengkar hebat? Semua ini karena kita masing-masing saling mempertahankan ego. Tetapi kalau kita mau berpikir bahwa yang lain lebih utama, dan kita memiliki konsep untuk saling melayani.. maka apa pun masalahnya dapat selesai karena,
“Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23).
Apa perbedaannya hidup yang dilandaskan di atas dasar Kristus dengan ego / diri kita sendiri?
Bila hidup kita dilandaskan di atas dasar ego, maka hidup kita menjadi haus pujian. Kalau tidak mendapat apresiasi dan pujian dari orang lain, kita merasa ada sesuatu yang salah. Tetapi bila fokus hidup kita dibangun di atas dasar Kristus, maka Kristus itu jauh lebih utama dari segala ego kita.
Kedua. Hidup ini adalah kesempatan yang Tuhan sudah berikan.
Ketika pengurus dari kebun anggur meminta kesempatan pada sang pemilik, waktu satu tahun lagi untuk dirinya mencoba agar pohon ara tersebut dapat kembali berbuah (Lukas 13:8-9).. maka hal ini melahirkan perenungan bagi setiap kita,
Berapa banyak dari kita yang selama ini sudah menyadari bahwa kita telah diberi kesempatan sama Tuhan sebagai Sang Pemilik kehidupan, agar Dia dapat mengecap manisnya buah yang dapat dihasilkan dari hidup kita?
Kalau kita diberi kesempatan untuk hidup sampai hari ini, marilah kita belajar untuk memandang dan terus menyadari bahwa hidup ini adalah sebuah kesempatan yang Tuhan sudah berikan. Jangan pernah disia-siakan dan berlalu begitu saja.
Makan Malam bersama Mama.
Pdt. Gunawan pada suatu hari kedatangan teman kuliahnya, dan temannya ini tinggal selama beberapa minggu bersama mamanya di sebuah apartemen di Singapura. Setelah ditanya lebih jauh, mamanya ini terkena penyakit kanker stadium akhir dan sedang dalam proses pengobatan.
Lalu temannya meminta bantuan doa pada Pdt. Gunawan agar Tuhan boleh menyembuhkan mamanya dan juga memberikan mukjizat, agar sesama saudara dapat rukun dan mengobrol kembali. Ternyata mereka selama ini sudah saling tidak bertegur sapa, ribut karena masalah sepele. Dan karena mamanya sudah terkena kanker ganas, pada akhirnya dengan terpaksa semua saudaranya saling bertegur sapa, tetapi hanya melalui whatsapp group di layar handphone masing-masing.
Untuk menyenangkan hati mamanya, di whatsapp group mereka tampak begitu akrab. Tetapi di dalam dunia nyata, mereka tidak mau bertemu dan tidak mau saling bertegur sapa. Semestinya tidak ada masalah dengan hubungan kakak beradik, hanya saja pasangannya masing-masing yang memiliki masalah, sehingga hal ini mempengaruhi hubungan baik yang selama ini terjalin erat di antara kedua saudara kandung tersebut.
Di apartemen yang disewa temannya, Pdt. Gunawan memiliki kesempatan untuk dapat berbicara berdua bersama dengan mamanya, dan bertanya apa yang sedang beliau rasakan pada saat ini.
Berikut adalah ungkapan isi hatinya,
“Tiap malam Tante selalu berdoa sama Tuhan Yesus, bukan supaya Tante mendapat kesembuhan, tetapi supaya penyakit kanker ini bisa diperpanjang waktunya. Semakin lama semakin baik. Mengapa? Karena hanya dengan ini cara satu-satunya agar anak-anak Tante bisa berkumpul erat kembali, bisa dekat sama Tante, dan bisa saling mengobrol.”
Mendengarnya Pdt. Gunawan meneteskan air mata terharu dan menjawab,
“Tante, jangan begitu dong.. Kita berdoa meminta mukjizat Tuhan yang terbaik, bukan supaya penyakit kanker ini diperpanjang, tetapi supaya terjadi pemulihan bagi keluarga Tante.”
Lalu mamanya menjawab,
“Kalau kamu bisa membantu supaya anak-anak Tante bisa rukun lagi, Tante siap kalau pada hari ini juga Tante pulang ke rumah Bapa di Surga.”
Lalu Pdt. Gunawan memberanikan diri untuk berbicara pada teman kuliahnya tentang apa yang mamanya sudah utarakan bahwa mamanya ini sebenarnya tidak ingin sembuh, tetapi justru malah ingin agar kankernya tetap berada di dalam tubuhnya. Mengapa? Karena hanya dengan ini satu-satunya cara agar semua anaknya dapat berkumpul di dekatnya, bisa makan bersama, dan bisa mengobrol bersama-sama.
Pdt. Gunawan memberanikan diri untuk mengajak semua anggota keluarga makan bersama di sebuah rumah makan, dan meminta izin agar dirinya dapat berbagi sesuatu di momen tersebut.
Dan hari itu terjadi. Semuanya saling menangis dan berpelukan. Ini adalah kesempatan untuk satu keluarga bisa membuang ego masing-masing, siapa tahu dengan cara ini, mamanya bisa sembuh.
Di tengah momen tersebut, mamanya tiba-tiba berdiri dan berkata pada keluarganya,
“Mama sudah siap kapan saja untuk pulang ke rumah Bapa di Surga. Tetapi malam hari ini yang membuat hati Mama berbahagia adalah melihat kalian semua dapat saling memaafkan. Dengarkan yaa! Kalau Mama sudah tidak ada, kalian tetap harus seperti ini. Jangan pernah berubah.”
Dua bulan kemudian, Tuhan memanggil mamanya pulang. Tetapi buah dari doa mamanya dijawab Tuhan, satu keluarga dipersatukan Tuhan kembali.
Untuk apa kita saling mempertahankan ego? Untuk apa kalau pada akhirnya, kita sama orang tua kita sendiri tidak berbicara? Untuk apa setiap pasangan yang dahulunya sama-sama saling tertarik dan saling mencintai, tetapi sekarang malah menjadi saling curiga dan tidak bisa mengampuni?
Karena kita salah membangun hidup kita, bukan di atas dasar Kristus dan kebenaran firman-Nya / Alkitab tetapi justru di atas dasar ego diri kita sendiri yang membuat hidup kita dan juga anggota keluarga kita, akhirnya hancur.
Pdt. Gunawan masih ingat pernah berkata pada temannya, apa makanan kesukaan mamanya? Dan setelah diingat-ingat, ternyata mamanya ini paling suka makan nasi goreng. Tetapi temannya juga berkata belum tentu bisa makan satu sendok nasi goreng, karena terkendala sakit kankernya ini.
Lalu Pdt. Gunawan berkata di keluarga tersebut,
“Kalian tahu, selagi kalian masih hidup saja, kalian memberi Mama makan satu mangkok nasi goreng, padahal satu sendok makan saja Mama belum tentu bisa makan. Nanti kalau Mama sudah tidak ada, di depan peti mati kalau kalian mau kasih nasi goreng satu bakul-pun, dan menyuruh Mama untuk bangun dari kematian sebentar saja untuk mencoba satu sendok nasi goreng.. Mama tidak akan mungkin bisa bergerak dari dalam peti mati.
Untuk apa kalian menunjukkan kasih kalian, bakti dan budi kepada Mama, kalau Mama sudah tiada. Kalau kalian mau memberikan kasih yang terbaik, wujudkan impian dan jawablah permohonan doa Mama kalian selama ini yakni, supaya kalian bisa hidup rukun bersama-sama.”
Marilah membangun hidup kita di atas dasar Kristus, maka akan hilang semua ego dan kepahitan kita, semua yang selama ini telah menghalangi kita untuk dapat bertumbuh di dalam hidup selama ini. Yang tadinya kita melayani Tuhan, hanya karena masalah sepele, kita bisa kecewa dan meninggalkan Tuhan, gereja, serta kasih karunia-Nya.
Marilah meletakkan semuanya di bawah kaki Tuhan dan berkata pada-Nya,
“Tuhan, Engkau jauh lebih penting dari semua ornamen yang ada di dalam hidup ini. Jauh lebih penting bila hidupku dapat menyukakan hati-Mu.”
Jangan pernah lupakan bahwa, sebuah pohon menghasilkan buah bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk orang lain bisa menikmati buahnya. Dan juga yang tidak kalah pentingnya adalah, orang lain yang akan menilai buah yang kita hasilkan, apakah rasanya itu manis atau masam. Kita tidak akan pernah bisa memaksa orang lain untuk mengatakan bahwa buah kita itu manis, sebab orang lain yang menikmati buah dari hidup kita. Suami, istri, dan anak-anak kita yang menikmati buah yang kita hasilkan di dalam keluarga.
Karena itu, marilah berbuah, bukan hanya sekadar bertumbuh. Kita perlu berhati-hati, kalau seseorang terus bertumbuh tinggi secara fisik dan tidak ada waktu berhentinya, maka hal ini menjadi sangat mengerikan. Bertumbuh secara fisik saja tidak cukup, kita harus melihat adanya pertumbuhan yang sempurna baik dari sisi mentalnya, otaknya, karakternya, dan lain sebagainya.
Untuk apa seseorang itu punya fisik badan yang bagus dan proporsional, bertumbuh sehat secara fisik, tetapi mentalnya kurang waras?
Pelayanan-pun sama, model apa pun bisa ditiru. Tetapi yang namanya kedewasaan rohani, tidak akan dapat ditiru oleh siapa pun juga. Kedewasaan rohani itu bergantung dari seberapa dalam akar kita mengakar pada Kristus, di setiap harinya. Sehingga nantinya setiap kita akan dimampukan Tuhan untuk dapat berkata,
“Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus,” (Filipi 3:7-8).
Melayani Tuhan di seumur hidup kita.
“Jadi, berhati-hatilah dengan cara hidupmu masing-masing. Jangan hidup seperti orang bodoh, tetapi hiduplah seperti orang bijaksana. Maksud saya, pakailah setiap kesempatan untuk melakukan yang baik, karena sekarang adalah zaman yang penuh kejahatan. Oleh sebab itu janganlah hidup sembarangan, tetapi usahakanlah supaya kamu mengetahui apa yang TUHAN mau untuk kamu lakukan.” (Efesus 5:15-17, Terjemahan Sederhana Indonesia / TSI).
Dua kata yang dicetak tebal di atas, yang perlu untuk kita perhatikan. Dan di dalam kata, “janganlah hidup sembarangan” memiliki arti kita tidak boleh hidup semau kita sendiri. Kita harus mempertimbangkan untuk hidup bijaksana dengan pasangan kita, anak-anak kita, orang tua kita, dan juga orang lain di sekitar kita.
Di masa kecilnya, Pdt. Gunawan sering tidur bersama dengan neneknya. Dan neneknya ini memiliki satu komitmen, setiap hari Kamis dirinya akan memasak makanan yang terbaik, lalu memanggil bapak becak langganan di depan tokonya, serta meminta bapak tersebut untuk mengantar rantang berisi masakannya tersebut pada paroki gereja, untuk memberi makan para pastor dan suster yang ada di dalam gereja tersebut.
Ketika Pdt. Gunawan sudah bisa menyetir mobil, neneknya sering berpesan dan meminta tolong pada dirinya untuk mau mengantar masakan neneknya di Paroki gereja.
Hingga pada suatu hari saat neneknya berusia 88 tahun, neneknya ini minta dijemput jam 9 pagi, padahal biasanya dijemput sekitar jam 11-11.30 siang. Ternyata neneknya minta diantar ke salon untuk mencuci dan menata rambutnya. Pulangnya setelah sampai di rumah, neneknya menyobek selembar kertas dan menulis di atasnya,
“Pastor yang terhormat,
Harap maklum kiranya, mungkin ini adalah rantang makanan terakhir yang saya kirim. Karena mohon maaf Pastor, saya sudah tua dan tidak kuat untuk memasak lagi.
Semoga Pastor semuanya suka dengan masakan saya, dan sehat-sehat selalu.
Tertanda..”
Pada saat itu Pdt. Gunawan berpikir bahwa dirinya hanya mengantar neneknya yang mau pergi ke salon, ternyata neneknya ini mau bertemu dengan beberapa Pastor di Paroki gereja. Dan sesampainya di Paroki gereja, neneknya ini berkata,
“Pastor, ini ada rantang makanan. Dan juga ada surat dari saya. Terima kasih Pastor, saya selama ini sudah diberi kesempatan untuk bisa melayani. Cuma bisa memberi makanan sama Pastor, dan semoga makanan saya bisa dimakan sama Pastor dan teman-teman Pastor.”
Lalu banyak Pastor yang mengantar neneknya untuk kembali ke mobil bersama Pdt. Gunawan. Dan ini benar-benar rantang terakhir, 8 bulan kemudian neneknya dipanggil Tuhan. Pdt. Gunawan sangat bersyukur untuk dapat melihat kesempatan yang terakhir, di mana dirinya dapat mengantar rantang itu sendiri ke Paroki gereja.
Layanilah Tuhan sampai seumur hidup kita, karena hidup ini adalah sebuah kesempatan untuk kita dapat melayani Tuhan.
“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. (22) Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah..” (Filipi 1:21-22a).
Kita tidak akan pernah tahu, kapan kita bisa merayakan hari ulang tahun kita yang terakhir kalinya. Tetapi kalau Tuhan masih memberikan kesempatan satu hari yang baru, itu adalah kesempatan bagi kita untuk bisa melayani dan berbuah bagi banyak orang, serta memuliakan nama Tuhan.
Berapa banyak dari kita yang mau mengambil kesimpulan dan keputusan yang sama, bahwa hidup ini adalah sebuah kesempatan bagi kita untuk dapat melayani Tuhan dengan sungguh-sungguh.
Sebuah Doa.
“Tuhan Yesus, aku telah mendengar firman-Mu sudah disampaikan. Aku tahu, bukan aku, tetapi Engkau yang terpenting, terbaik, dan Engkau yang harus diutamakan. Ajar aku yaa Tuhan, supaya aku bisa menghasilkan buah di dalam hidup ini.
Untuk suamiku, istriku, anak-anakku, untuk gereja ini, untuk kota ini, untuk orang-orang yang ada di sekitar kami yang Tuhan kirimkan.
Aku mau selagi masih ada kesempatan yang Tuhan Yesus berikan di dalam hidupku, aku mau pakai supaya nama Tuhan dapat dipermuliakan dan melayani Tuhan di seumur hidupku.
Terima kasih Tuhan, untuk kesempatan yang sudah Tuhan berikan di dalam hidup ini.”
Amin. Tuhan Yesus memberkati..
Comments