top of page

Bless the Lord (Memberkati Tuhan) (Goesti Agung Wijoyo)



Catatan Khotbah: “Bless the Lord (Memberkati Tuhan)”. Ditulis dari sharing Bp. Pdt. Goesti Agung Wijoyo, di Ibadah Minggu Tgl. 18 Desember 2022.


Sering kali kita mendengar firman Tuhan dibagikan tentang bagaimana caranya agar kita dapat diberkati Tuhan, tetapi kita jarang mendengar bahwa melalui hidup kita, kita juga dapat memberkati Tuhan. Hubungan yang dibangun bersama dengan-Nya itu tidak hanya berjalan one way / satu arah dari Tuhan hanya untuk kita, tetapi juga berjalan dua arah, dari kita untuk Tuhan dan melalui hidup kita.. kita juga dapat memberkati dan menyenangkan-Nya.


Tuhan memang tidak membutuhkan belas kasih dan simpati dari kita atas apa yang telah Dia perbuat pada saat Dia mati di atas kayu salib demi menebus dosa-dosa kita, karena Dia memberikannya dengan kasih. Tetapi kita dapat belajar untuk memiliki empati, ikut merasakan apa yang Tuhan rasakan di dalam hati-Nya. Sesungguhnya Dia rindu agar kita semua dapat memiliki waktu yang karib bersama-Nya, sesuatu yang Dia tidak bisa miliki, tanpa kita memberikan dengan sukarela kepada-Nya.


Tuhan tidak membutuhkan sesuatu yang Dia bisa ciptakan, tetapi ada sesuatu yang dapat kita berikan pada-Nya, yaitu hati kita. Dia tidak bisa mengambilnya dengan paksa, selain dari kita yang memberikannya dengan cuma-cuma kepada-Nya. Ketika Tuhan memberi kehendak bebas pada manusia, Dia memberi kepercayaan penuh pada setiap kita. Dengan kesadaran yang penuh dan sukarela, tanpa diancam dan tanpa embel-embel berkat, dalam keadaan baik mau pun sedang bergumul.. kita masih dapat memutuskan untuk tetap menyembah-Nya dan berkata “I Love You, Lord”, di setiap hari kita.


Hal ini adalah cara kita menyembah Tuhan. Hidup adalah sebuah anugerah, pergunakan semaksimal mungkin untuk dapat menaikkan ucapan syukur kepada-Nya—sungguh-sungguh diungkapkan dari isi terdalam hati kita. Dan hal ini sangat memberkati-Nya.


Pujilah Tuhan = Berkatilah Tuhan.

“Dari Daud. Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku! Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya!” (Mazmur 103:1-2).


“A Psalm of David. Bless the LORD, O my soul: and all that is within me, bless his holy name. Bless the LORD, O my soul, and forget not all his benefits:” (KJV version).


Kata “pujilah” dari bahasa Ibraninya memakai kata Barak, Berakhah, atau memberkati (bless, versi KJV). Bahasa kasih-Nya Tuhan adalah sikap hati kita yang mau untuk tetap menyembah-Nya, apa pun keadaan kita. Menaikkan pujian dan penyembahan atas segala kebaikan Tuhan, dan hal ini tidak selalu dalam wujud lagu.


Penyembahan itu gaya hidup, harus dibangun di setiap harinya, dan tidak bisa disetel seminggu sekali. Tanpa kebiasaan yang terus dibangun, maka kita tidak akan dapat memiliki hubungan yang karib dengan-Nya, sama seperti cinta yang harus terus dibangun dalam sebuah pengenalan yang karib. Semakin karib pengenalan tersebut dibangun, maka semakin dalam hubungan cinta yang tercipta. Kalau kita mengatakan kita mencintai Tuhan, maka kita harus memiliki waktu untuk membangun hubungan untuk mengenal-Nya lebih dalam di setiap harinya.


Pertama. Attitude / Sikap.


Dibangun dari kebiasaan. Kalau kita tidak terbiasa untuk memuji dan menyembah-Nya, maka kita tidak akan memiliki hubungan bersama-Nya. Kadang ada sesuatu yang Tuhan izinkan terjadi. Dan bila kita memiliki kebiasaan untuk cerita sama Tuhan, maka ada komunikasi yang terus terjalin dengan-Nya.


“Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung.” (Yosua 1:8).


Kata “renungkan” dari bahasa aslinya adalah mengecap / mengunyah firman Tuhan. Dari setiap logos / firman Tuhan yang tertulis yang kita baca, nantinya akan menjadi rhema di dalam hidup kita. Kalau kita tidak pernah membaca dan merenungkan firman Tuhan, maka yang kita bayangkan hanyalah akal dan hikmat manusia.


Ini semua adalah tentang habit / kebiasaan. Kalau kita terbiasa mengkonsumsi firman Tuhan, maka se-fancy dan seviral apa pun yang terjadi di dalam dunia, maka kita tidak akan mudah terpengaruh karena kita memiliki penyembahan yang terbiasa kita bangun bersama dengan-Nya. Perspektif / sudut pandang kita akan diubah ketika kita rajin membaca firman-Nya.


Elisa dan Bujangnya.


Dari 2 Raja-raja 6:8-23, kita dapat belajar bahwa Elisa itu terbiasa berkomunikasi dengan Tuhan sedangkan bujangnya tidak. Dan kita dapat melihatnya ketika Elisa berdoa,


"Ya TUHAN: Bukalah kiranya matanya, supaya ia melihat." Maka TUHAN membuka mata bujang itu, sehingga ia melihat. Tampaklah gunung itu penuh dengan kuda dan kereta berapi sekeliling Elisa.” (ayat 17).


Dan kalau kita terbiasa mendengar suara-Nya dan mengenal bagaimana karakter-Nya.. maka kita akan menemukan bahwa Dia adalah Tuhan yang berlebihan dalam membela anak-anakNya. Itulah sebabnya kita perlu untuk selalu tune in dengan frekuensi-Nya Tuhan. Ketika kita tune in, maka apa pun yang dunia berusaha beri label bagi hidup kita, kita akan selalu diingatkan bahwa Tuhan memberi kita label,


“Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita..” (Kejadian 1:26).


Karena terbiasa mendapat mukjizat-Nya, sering kali kita menjadi ketagihan. Kita tidak lagi memiliki iman yang dewasa dan berani untuk menunggu dan mempercayai waktu-Nya Tuhan. Kita mulai menjadi takut dan kuatir, dan akhirnya Iblis bekerja dan menawarkan kita untuk masuk ke dalam frekuensinya. Iblis mulai mempengaruhi kita dengan anggapan: Selama ini bisa jadi kita sudah lama mengikut Tuhan, tetapi tidak ada hasil yang signifikan.


Dan kita mulai beralih pada apa yang ada di dalam dunia. Padahal tren dunia semakin lama semakin turun, dan kalau kita mengikutinya maka kehidupan kerohanian kita juga akan ikut naik dan turun. Kalau kita mengikuti apa mau-Nya Tuhan, kita bisa saja diizinkan mengalami beberapa hal, tetapi kita akan terus dibawa-Nya naik sesuai dengan kehendak-Nya yang terbaik.


Kedua. Tidak Ada Penyembahan Tanpa Disertai Korban Persembahan.


Kita tidak bisa berkata bahwa kita mengasihi Tuhan, tetapi kita sendiri tidak mau berkorban atau memberi persembahan terbaik yang baunya menyenangkan hati-Nya. Dan yang dapat kita persembahkan bukanlah sesuatu yang Dia bisa ciptakan, tetapi sesuatu yang paling berharga, yang selama ini kita pegang erat. Mungkin hal itu berupa waktu, perhatian, materi kita, dan sebagainya. Sesuatu yang selama ini kita simpan erat dan kita anggap hal ini jauh lebih berharga dari peran Tuhan dalam hidup kita.


Momen Tanah Moria.


Di dalam Kejadian 22, kepercayaan dan apa yang berada di dalam hati Abraham sedang diuji. Apakah Ishak itu lebih berharga dari Allah sendiri? Apakah Allah tetap menjadi nomor satu di dalam hati Abraham? Dan ketika Abraham lulus dari ujian momen ini, Abraham dapat mengenal-Nya lebih dalam lagi sebagai Jehovah Jireh, atau Allah yang Menyediakan. Dan karena Abraham percaya pada-Nya maka di Tanah Moria itu,


“.. Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran." Karena itu Abraham disebut: "Sahabat Allah."” (Yakobus 2:23).


Penyembah Roh Vs. Penyembah Daging.


Kita semua pasti pernah membaca kisah tentang Allah yang mencari “..penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.” (Yohanes 4:23). Dan bila ada penyembah yang menyembah dalam roh, maka ada pula penyembah yang menyembah-Nya dengan “daging”.


Apa maksudnya?


Menyembah dengan daging itu memakai emosi dan perasaan yang bisa naik dan turun, ada keyakinan transaksional yang berupa Tuhan harus memberkati hidup kita karena kita sudah menyembah-Nya. Padahal kita menyembah-Nya karena kita merindukan dan mencintai-Nya. Kita menyembah-Nya karena hanya Dia yang layak untuk disembah, bukan karena perasaan kita sedang enak atau tidak enak.


Dua Hal yang Dia Tidak Dapat Lakukan.


Pertama. Dia tidak bisa berdosa atau berbuat dosa. Karena Dia adalah Allah yang Mahakudus.


Kedua. Dia tidak dapat menyangkali dan membatalkan firman-Nya dengan begitu saja. Kalau Dia berkata, “.. tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan.” (Ibrani 12:14), maka Dia sendiri harus mati di atas kayu salib untuk menebus dosa-dosa kita. Dia sendiri yang membayar harga sebuah kekudusan dengan darah-Nya yang kudus, agar hubungan kita dapat diperbarui kembali dengan-Nya. Tidak ada satu pun hukum yang ada di dunia ini, yang dapat membayar lunas dosa-dosa kita selain dengan darah-Nya yang tercurah di atas kayu salib.


Kalau ingin diselamatkan dari dosa, maka kita harus percaya dan menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi kita. Kalau ingin diberkati, maka kita hanya harus hidup dengan jujur, penuh integritas, berbuat adil dengan timbangan yang tidak serong. Berkat itu sifatnya conditional. Tetapi Salvation / Keselamatan itu sifatnya unconditional. Bukan karena usaha perbuatan kita, tetapi karena kasih karunia-Nya kita diselamatkan.


Dan bila kita hanya ingin memiliki kehidupan yang sebatas diberkati, maka Tuhan Yesus tidak perlu sampai mati di atas kayu salib. Karena hanya untuk mendapat Keselamatan, Tuhan Yesus perlu naik ke atas kayu salib untuk menebus semua dosa-dosa yang telah kita perbuat.


Marilah kita menutup tahun 2022 ini dengan kemenangan dan tetap setia kepada-Nya, memasuki tahun 2023 dengan sikap percaya bahwa Allah yang sama pasti akan menyertai kita dan memberi kita kemenangan-Nya.


Amin. Tuhan Yesus memberkati.

8 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page