Catatan Khotbah: “Is It Worth It?” Ditulis ulang dari sharing khotbah Bp. Pdt. Benny Koesno, di Ibadah Ucapan Syukur “Uplifting” di MDC Ciputra World Surabaya, pada Tgl. 21 Mei 2024.
“Number 17A” adalah nama lukisan abstrak yang pernah dibuat oleh Jackson Pollock, seorang pelukis yang berasal dari Amerika Serikat, yang teknik melukisnya dikenal dengan teknik dripping atau meneteskan cat di atas kanvas. Lukisan ini dibuat pada tahun 1948, dan telah menjadi salah satu lukisan termahal di dunia setelah dibeli Kenneth C. Griffin, seorang miliarder dan investor asal Amerika Serikat seharga US$200 juta, atau sekitar Rp.2,8 triliun pada tahun 2015.
Mahal atau tidak harganya, itu semuanya relatif. Bagi yang membeli lukisan tersebut, harga itu adalah harga yang dirasa worth it / layak untuk ditebus. Demikian pula halnya dengan perjalanan iman kita bersama dengan Tuhan, dan apa saja yang sudah kita lalui bersama-Nya. Bagi orang lain, bisa jadi mereka akan melihat dan menilai beberapa hal dirasa tidak worth it / tidak layak, mengenai setiap pengorbanan yang sudah kita berikan untuk-Nya. Tetapi bagi kita yang menjalaninya sendiri, pastinya akan memiliki penilaian yang berbeda dari apa yang dinilai orang lain.
Seorang Perempuan dan Minyak Narwastu.
Di dalam Alkitab, ada kisah seorang perempuan yang mempersembahkan sebuah barang yang sangat mahal harganya,
“Ketika Yesus berada di Betania, di rumah Simon si kusta, datanglah seorang perempuan kepada-Nya membawa sebuah buli-buli pualam berisi minyak wangi yang mahal. Minyak itu dicurahkannya ke atas kepala Yesus, yang sedang duduk makan.” (Matius 26:6-7).
Dan apa yang dilakukan perempuan ini kemudian disikapi oleh murid-murid Tuhan Yesus,
“Melihat itu murid-murid gusar dan berkata: “Untuk apa pemborosan ini? Sebab minyak itu dapat dijual dengan mahal dan uangnya dapat diberikan kepada orang-orang miskin.”” (ayat 8-9).
Tetapi Tuhan Yesus menjawab,
“Mengapa kamu menyusahkan perempuan ini? Sebab ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku. Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi Aku tidak akan selalu bersama-sama kamu. Sebab dengan mencurahkan minyak itu ke tubuh-Ku, ia membuat suatu persiapan untuk penguburan-Ku. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di mana saja Injil ini diberitakan di seluruh dunia, apa yang dilakukannya ini akan disebut juga untuk mengingat dia.” (ayat 10-13).
Ditulis dari berbagai sumber, minyak narwastu ini merupakan Nardostachys jatamansi, yang merupakan tumbuhan berbunga dari keluarga valerian yang banyak tumbuh di daerah India utara dan pernah ditemukan di tempat-tempat tinggi di Pegunungan Himalaya. Tumbuhan ini adalah sumber dari jenis minyak esensial berwarna kuning yang sangat aromatik, spikenard. Minyaknya, sejak zaman kuno, telah digunakan sebagai parfum, obat tradisional, dan berbagai upacara keagamaan. Tetapi tumbuhan ini dianggap terancam punah karena pemanenan berlebihan untuk obat tradisional, penggembalaan berlebihan, hilangnya habitat, dan juga degradasi hutan.
Sekalipun minyak narwastu ini sangat mahal harganya dan bisa jadi merupakan simpanan dari keluarganya turun-temurun, tetapi perempuan yang mengurapi Tuhan Yesus di dalam Injil Matius, Markus, dan Yohanes yang diidentifikasikan sebagai Maria saudara dari Marta dan Lazarus ini (Yohanes 12:3).. merasa layak untuk membuka dan mencurahkan ke atas kepala-Nya, yang pada saat itu sedang duduk makan.
Melalui kisahnya kita dapat belajar, ketika mengasihi seseorang, kita tidak akan hitung-hitungan dalam memberi. Tetapi Yudas Iskariot, salah seorang dari murid-murid Tuhan Yesus yang nantinya akan menyerahkan Dia.. di dalam Yohanes 12:5 mengatakan pada kita berapa harga dari minyak narwastu ini,
“Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?”
Menurut beberapa penafsiran, tiga ratus dinar adalah jumlah total upah pengerja Israel dalam waktu satu tahun. Itulah sebabnya selain minyak ini sangat dihargai mahal dan dirasa tidak cocok untuk dipakai satu kali saja di dalam momen Yesus diurapi, Yudas Iskariot juga mengungkapkan protesnya dikarenakan,
“Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya.” (ayat 6).
Pelajaran Tiga Tokoh.
Di dalam kisah ini ada tiga tokoh yang dapat kita pelajari bersama dari sikap mereka,
Pertama. Simon si Kusta.
“Ketika Yesus berada di Betania, di rumah Simon si kusta,” (Matius 26:6).
Adalah seseorang yang mengundang Tuhan Yesus di dalam rumahnya, untuk menikmati jamuan makan malam. Dinamakan “Simon si Kusta,” karena dulunya pernah kena kusta, tetapi sekarang sudah menerima mukjizat kesembuhan total dari Tuhan Yesus. Sebab pada zaman itu, seorang kusta tidak diperkenankan untuk mengundang seseorang masuk ke dalam rumahnya,
“Orang yang sakit kusta harus berpakaian yang cabik-cabik, rambutnya terurai dan lagi ia harus menutupi mukanya sambil berseru-seru: Najis! Najis! Selama ia kena penyakit itu, ia tetap najis; memang ia najis; ia harus tinggal terasing, di luar perkemahan itulah tempat kediamannya.” (Imamat 13:45-46).
Dan karena Simon sudah menerima mukjizat kesembuhan total dari-Nya, maka dirinya mengucap syukur dan mengundang makan Tuhan Yesus dan juga murid-muridNya, di dalam rumahnya.
Bagaimana dengan kita? Apakah selama ini kita sudah berterima kasih dan mengucap syukur kepada-Nya, dengan menjalani sebuah kehidupan yang dapat memuliakan Dia? Simon si Kusta mengucap syukur karena penyakitnya sudah disembuhkan Tuhan Yesus, dan apakah kita juga sudah mengucap syukur karena segala hutang dosa kita telah ditebus lunas dan diampuni oleh-Nya dari atas kayu salib?
Kedua. Maria dan Minyak Narwastu.
Mungkin rumahnya tidak sebesar Simon, tetapi Maria mempersembahkan yang terbaik, apa yang selama ini telah disimpan dan dimilikinya. Mengapa Maria mau memberikan yang terbaik? Karena Dia tahu dan mengenal siapa Pribadi Yesus di dalam hati dan hidupnya. Dan dari persembahan terbaik Maria ini, telah mengusik hati dari murid-muridNya. Mengapa? Karena murid-murid tidak protes sama sekali atas pesta yang diadakan Simon, tetapi mereka protes ketika Maria,
“..mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau minyak semerbak di seluruh rumah itu.” (Yohanes 12:3).
Terkadang kita sama seperti murid-murid Tuhan Yesus. Kita sering berjalan bersama-Nya, tetapi kita sudah tidak lagi memberi yang terbaik bagi-Nya. Sering kali kita hanya memberikan ala kadarnya, dan bahkan hanya sisa-sisa dari waktu kita saja. Padahal Tuhan Yesus itu layak untuk menerima apa yang terbaik dari hidup kita.
Murid-murid tahu bahwa tindakan yang dilakukan Maria telah mengusik hati mereka, dan apa yang dilakukan Maria ini telah menjadi peringatan bagi setiap kita untuk selalu memberikan yang terbaik bagi-Nya,
“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di mana saja Injil ini diberitakan di seluruh dunia, apa yang dilakukannya ini akan disebut juga untuk mengingat dia.” (Matius 26:13).
Ketiga. Yudas Iskariot dan Uang Kas Simpanannya.
Kita sudah belajar dari apa yang dilakukan Simon si Kusta, serta Maria dan Minyak Narwastunya. Tetapi bagaimana dengan Yudas Iskariot? Apa yang dapat kita pelajari dari satu murid Tuhan Yesus yang selama ini telah melihat apa saja yang sudah Dia perbuat, bagaimana mukjizat-mukjizatNya.. tetapi sesungguhnya Yudas telah gagal untuk mengenal kedalaman hati dari Sang Gurunya.
Is It Worth It?
Untuk sebuah event dan moment, Maria berani memberikan yang terbaik dari apa yang dia miliki. Untuk kesembuhan yang telah diterima, Simon si Kusta mengadakan jamuan makan malam sebagai bentuk ucapan syukurnya kepada Sang Pemberi mukjizat. Dan yang menjadi pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab adalah,
Apakah “buli-buli pualam” kita? Hal berharga apakah yang selama ini disimpan di dalam hidup kita, yang sesungguhnya dapat kita persembahkan bagi kemuliaan nama-Nya?
“Tetapi jika lembu itu menanduk seorang budak laki-laki atau perempuan, maka pemiliknya harus membayar tiga puluh syikal perak kepada tuan budak itu, dan lembu itu harus dilempari mati dengan batu.” (Keluaran 21:32).
“Pada waktu Yudas, yang menyerahkan Dia, melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia. Lalu ia mengembalikan uang yang tiga puluh perak itu kepada imam-imam kepala dan tua-tua, dan berkata: “Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah.” Tetapi jawab mereka: “Apa urusan kami dengan itu? Itu urusanmu sendiri!”” (Matius 27:3-4).
Di dalam Perjanjian Lama (PL), harga seorang budak yang mati ditanduk lembu itu dihargai senilai tiga puluh syikal perak. Di ayat di atas juga dijelaskan pada kita bahwa Yudas menjual Tuhan Yesus dengan harga yang sama, yakni tiga puluh perak. Apa artinya?
Bagi Yudas, Sang Guru hanya worth it / layak dihargai sama seperti harga seorang budak, yakni tiga puluh perak dan tidak lebih. Selain itu, Yudas juga memiliki prinsip bahwa mengikut Tuhan Yesus harus mendapat keuntungan, bagaimanapun caranya, dan dia mencari keuntungan pribadi dengan menjual Tuhannya. Bukannya hidup dengan memikirkan apa yang dapat diberi untuk menyenangkan hati Sang Guru, tetapi malah apa yang bisa Yudas raih dan dapatkan, walau hal itu harus mengorbankan Sang Guru yang mengasihi Yudas dengan sangat.
“Janganlah ia menghadap hadirat TUHAN dengan tangan hampa, tetapi masing-masing dengan sekadar persembahan, sesuai dengan berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu.” (Ulangan 16:16b-17).
Biarlah setiap kita datang menghampiri-Nya tidak dengan “tangan hampa”, tetapi membawa “buli-buli pualam berisi minyak narwastu”, yakni hidup kita yang dipersembahkan bagi kemuliaan-Nya.
Kerajaan Allah dapat berdampak tidak hanya karena adanya peran dari orang-orang yang memiliki hati seperti Simon si Kusta yang mau mengucap syukur atas apa yang sudah diperbuat Tuhan Yesus baginya, dan begitu bermurah hati dalam menjamu makan Dia dan murid-muridNya.. tetapi juga adanya peran dari Maria yang mau mempersembahkan yang terbaik dari hidupnya.
Kalau sikap kita dalam mengikut Yesus dan dalam beribadah hanya seperti Yudas, yakni hanya menghitung berapa banyak yang bisa kita dapatkan.. maka ketika apa yang kita harapkan tak kunjung datang, bisa jadi kita akan mengkhianati, “menjual Yesus”, dan juga menjual iman kita.
Belajarlah dari sikap Maria, mungkin dunia menilainya begitu bodoh, tetapi hatinya tetap tertuju pada Tuhan Yesus, dan dia tidak pernah hitung-hitungan. Marilah memiliki sikap untuk selalu memberikan yang terbaik bagi Tuhan Yesus, karena Dia yang kita sembah, layak untuk mendapatkan yang terbaik dari hidup kita.
Amin. Tuhan Yesus memberkati..
Comments