Catatan Khotbah: Simplify Your Life. Ditulis dari sharing Bp. Pdt. Andreas Rahardjo di Ibadah Minggu, pada Tgl. 19 Maret 2023.
“Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.” (Ibrani 12:1).
Saat menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi dalam hidup, maka posisi kita berada di dalam perlombaan iman, dan di akhir dari perlombaan tersebut kita diharuskan untuk mempertanggungjawabkan setiap hal yang sudah diperbuat di dalam hidup ini. Hal ini juga termasuk apa yang kita katakan dan perbuat, apakah kita juga mau mengembangkan setiap talenta / bakat yang sudah Tuhan percayakan dalam hidup kita, atau justru kita hanya berdiam diri dan memendamnya saja, sama seperti perumpamaan talenta di Matius 25:14-30.
Di dalam perlombaan iman ini, ada dua hal yang dapat merintangi. Rintangan Pertama adalah Dosa yang sudah diselesaikan Tuhan Yesus di atas kayu salib. Semua dosa kita sudah diampuni, dan kita juga sudah diberi-Nya hidup yang kekal. Rintangan Kedua adalah Beban, yang tidak selalu berwujud dosa, tetapi juga berupa hal-hal yang dapat merintangi hidup kita dalam menyelesaikan perlombaan iman yang diwajibkan ini.
Membawa beban di dalam hidup dapat memperlambat kita dalam menyelesaikan perlombaan iman. Tetapi prinsipnya adalah, biarlah Tuhan melakukan bagian yang Dia dapat lakukan, dan kita melakukan bagian yang dapat kita lakukan. Jangan biarkan kekuatiran, dan berbagai hal yang sebenarnya tidak terlalu penting dalam perlombaan iman itu menghambat langkah laju kita. Tanggalkan beban tersebut di bawah kaki-Nya. Selesaikan perlombaan iman kita, dan tetap setia hingga di garis akhir.
Simplify Your Life.
Pertama. Senangkan hati Tuhan, jangan berusaha menyenangkan hati semua orang.
“Jadi bagaimana sekarang: adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah? Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus.” (Galatia 1:10).
Berusaha menyenangkan hati orang lain dapat menjadi beban, bila hal tersebut membawa kita menjadi terlalu berfokus pada diri sendiri. Seharusnya hal tersebut dapat mempengaruhi hidup seseorang untuk mencintai Tuhan lebih lagi, melalui keteladanan hidup yang kita beri.
Tetapi kita juga perlu berhati-hati agar jangan sampai karena kita terlalu berfokus untuk menyenangkan hati orang lain, sehingga hidup kita menjadi terlalu terbebani, membawa unnecessary burden / beban yang seharusnya tak diperlukan, dan menyembunyikan perasaan kita. Kita tidak berani berkata dan bersikap tentang apa yang kita yakini, tidak berani bersaksi, sehingga kita menjadi “palsu” dan tidak menjadi otentik / menjadi versi diri kita yang terbaik, sesuai dengan apa maunya Tuhan.
Orang-orang yang berusaha untuk menyenangkan hati orang lain pada akhirnya akan mengalami penolakan, karena mereka berharap sesuatu tetapi tidak mendapatkannya, sehingga mereka merasa ditolak. Kita memang berusaha melayani dan menyenangkan orang lain, tetapi kita harus tetap move on / bergerak. Tetaplah berfokus pada gol / tujuan untuk menyelesaikan misi yang sudah Tuhan wajibkan dalam hidup kita. Jangan sampai kita menjadi terbebani karena terlalu ingin untuk dapat menyenangkan hati orang lain.
Kedua. Milikilah sahabat yang baik.
“Jangan berteman dengan orang yang lekas gusar, jangan bergaul dengan seorang pemarah,” (Amsal 22:24).
“Kualitas teman-teman Saudara menunjukkan kualitas diri Saudara sendiri.” -Chuck Swindoll
Kalau kita tidak memiliki sahabat, jangan menyalahkan orang lain. Karena pertanyaan yang sesungguhnya adalah, apakah diri kita dapat dijadikan sebagai seorang sahabat yang baik bagi sesama kita? Kalau kita pergi untuk mencari seorang sahabat, mungkin kita tidak akan mendapatkannya. Tetapi kalau kita mau menjadikan diri kita sendiri sebagai seorang sahabat yang baik bagi orang lain, maka kita akan mendapatkannya. Sahabat yang kita miliki dapat mempengaruhi bagaimana karakter kita. Pergaulan yang buruk dapat merusak kebiasaan yang baik (1 Korintus 15:33).
Sahabat yang kita miliki dapat menentukan bagaimana karakter, dan juga mempengaruhi dan menentukan bagaimana masa depan kita. Dasar persahabatan adalah kasih, dan karena kasih tidak berkesudahan (1 Korintus 13:8), maka persahabatan kita dengan sesama seharusnya juga tak berkesudahan, sampai Tuhan memanggil salah satu di antaranya untuk pergi menghadap-Nya di dalam kekekalan Surga.
Ketiga. Meminta Tuhan mengubah orang lain, dan diri Saudara juga.
“Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku.” (1 Korintus 15:10).
“If you don’t like something, change it. If you can’t change it, change your attitude.” -Maya Angelou
Kalau ada seseorang yang salah mengerti terhadap sikap dan perbuatan kita, maka kita dapat meminta pada Tuhan agar hati mereka dilembutkan dan dapat memahami apa maksud dan tujuan kita yang sesungguhnya. Tetapi bila mereka tetap tidak mau, maka yang dapat kita lakukan adalah mengubah hati dan sikap kita sendiri, dan tetap move on. Kita tidak perlu sampai menjadikannya sebagai ganjalan dan sakit hati. Belajarlah menerima. Ada hal-hal yang masih bisa diubah, tetapi ada yang tidak. Waktu mau merubah attitude / sikap, maka kita akan naik level dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Banyak dari antara kita yang mau merubah dunia dan juga komunitas, tetapi tidak kesampaian. Dan pertanyaannya adalah,
Apakah kita mau merubah diri kita menjadi lebih baik dan sesuai dengan apa maunya Tuhan?
Tanpa kita sadari, selama ini keegoisan hati kita sudah memakan korban dari orang-orang yang sesungguhnya menyayangi hidup kita.
Keempat. Jangan menilai diri Saudara lebih.
“Keangkuhan merendahkan orang, tetapi orang yang rendah hati, menerima pujian.” (Amsal 29:23).
Kita cenderung menilai diri kita sendiri “lebih”, dan bisa juga “kurang”, dan hal ini dapat membawa kita pada deception / tipu muslihat. Kita bisa merasa diri kita sendiri benar dan orang lain salah (merasa “lebih” dan sombong), tetapi kita juga bisa merasa diri kita selalu salah dan orang lain selalu benar (merasa “kurang” dan minder / tidak percaya diri). Kalau sudah merasa diri benar sendiri, maka dapat menuntun kita pada sak karepe dewe / seenaknya sendiri, dan keberadaan orang lain dapat dirasa menjadi beban hidup.
Hubungan dengan Tuhan dan sesama menjadi terganggu. Padahal kita tidak ada apa-apanya. Semua berkat yang terjadi dalam hidup kita hanyalah kasih dan anugerah-Nya semata.
“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Filipi 4:13).
“Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yohanes 15:5).
Joyce Meyer menasihatkan bagaimana cara kita menilai diri sendiri adalah dengan hidup di antara kedua ayat di atas. Satu sisi kita percaya segala perkara dapat kita tanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan pada kita. Tetapi di sisi lain, jangan pernah hidup di luar Dia dengan mengandalkan hikmat dan kekuatan kita sendiri. Semua harus berjalan dengan seimbang. Confidence / percaya diri memang penting, karena bila tidak, maka kita tidak dapat melakukan banyak hal yang baik di dunia ini.
Tetapi bila kita menjadi over confidence, berhati-hatilah agar jangan sampai kita menjadi seenaknya sendiri, sehingga kita tidak mau lagi hidup di bawah tuntunan Tuhan lagi.
Kelima. Bersyukurlah.
“Ketika Paulus melihat mereka, ia mengucap syukur kepada Allah lalu kuatlah hatinya.” (Kisah Rasul 28:15b).
Tuhan membenci orang yang suka mengomel. Dan Alkitab mencatat bahwa Dia melarang bangsa Israel masuk ke dalam tanah Kanaan, karena mereka bangsa yang suka menggerutu dan juga tegar tengkuk.
Marilah kita belajar untuk mengucap syukur dalam segala hal. Marilah kita simplify our life / menyederhanakan hidup kita dengan menanggalkan segala beban yang sesungguhnya tak diperlukan di dalam hidup ini.
“Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.” (Filipi 3:10-11).
Ketika kita mau belajar untuk menyederhanakan hidup kita, dan memiliki kerinduan yang sama seperti yang Paulus miliki di ayat di atas.. maka menghadapi dan melalui berbagai musim dalam kehidupan, kita akan tetap survive / bertahan, dan selalu dimampukan-Nya untuk dapat menjadi seorang pemenang. Marilah hidup sederhana, tidak menonjolkan dan tidak mencari kemuliaan bagi diri sendiri, dan memiliki hidup yang memuliakan nama Kristus.
Amin. Tuhan Yesus memberkati..
Commenti