Catatan Khotbah: “Menguatkan Kepercayaan.” Ditulis dari sharing Bp. Pdt. Andreas Rahardjo di Ibadah Minggu pada Tgl. 25 Februari 2024.
Ayat Bacaan: 1 Samuel 30:1-25.
Di pasal di atas diceritakan bahwa Daud memiliki masalah yang cukup berat yakni,
“orang Amalek telah menyerbu Tanah Negeb dan Ziklag; Ziklag telah dikalahkan oleh mereka dan dibakar habis. Perempuan-perempuan dan semua orang yang ada di sana, tua dan muda, telah ditawan mereka, dengan tidak membunuh seorangpun; mereka menggiring sekaliannya, kemudian meneruskan perjalanannya. Ketika Daud dan orang-orangnya sampai ke kota itu, tampaklah kota itu terbakar habis, dan isteri mereka serta anak mereka yang laki-laki dan perempuan telah ditawan.” (ayat 1-3).
Tetapi dari apa yang dialami Daud di ayat di atas, ada beberapa pelajaran yang kita dapatkan.
Pertama. Masalah dapat datang setiap saat.
“Ketika Daud dan orang-orangnya sampai ke kota itu, tampaklah kota itu terbakar habis, dan isteri mereka serta anak mereka yang laki-laki dan perempuan telah ditawan.” (ayat 3).
Daud dan pasukannya sedang pergi, dan pada saat mereka pulang dijumpai bahwa kota Ziklag sudah terbakar habis, dan isteri mereka serta anak mereka yang laki-laki dan perempuan telah ditawan. Darinya kita dapat belajar bahwa masalah dapat datang setiap saat. Kita perlu untuk menghadapi dan membicarakan sifat dari masalah, karena setiap orang pasti memilikinya. Datangnya pun tanpa diundang, karena itu jangan terkejut bila pada suatu hari kita didatangi masalah.
Dan Tuhan mengizinkan masalah datang di dalam hidup kita bukan untuk menghancurkan, tetapi memiliki maksud yang mulia bagi kita.
Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengatakan pada murid-muridNya, dan juga pada kita untuk,
“Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah.” (Matius 26:41).
Di setiap waktu, kita perlu untuk pray / berdoa dan watch / waspada / berjaga-jaga. Tetapi yang kita lakukan selama ini hanyalah pray / berdoa dan watch tv / menonton tv. Padahal di dalam realitanya, setiap kita dapat terkena masalah dan tidak ada seorangpun yang tahu kapan waktunya.
Kedua. Keadaan yang sangat menjepit.
“Lalu menangislah Daud dan rakyat yang bersama-sama dengan dia itu dengan nyaring, sampai mereka tidak kuat lagi menangis.” (ayat 4).
Hari ini mungkin kita sedang tidak ada masalah, tetapi pada suatu hari bisa jadi kita akan menghadapinya. Bahkan sekelas raja Daud sendiri dapat menangis sampai di ayat di atas dikatakan sudah “tidak kuat lagi menangis.”
Terkadang Tuhan mengizinkan masalah datang untuk membawa kita kembali pada-Nya.
Pada suatu hari Pdt. Andreas berjumpa dengan seorang anak muda yang berada di dalam pesawat, dan mereka berbincang menggunakan bahasa Inggris. Lalu anak muda ini bertanya apa pekerjaan dari Pdt. Andreas, yang lalu segera dijawabnya bahwa pekerjaannya adalah sebagai seorang pendeta. Lalu anak muda ini men-scan dari atas sampai bawah, dan dirinya berkata kalau selama ini tidak mempercayai seorang pendeta dan lebih lanjut menceritakan banyak topik dan teori yang mempertanyakan keberadaan Tuhan.
Dan ketika ditanya bagaimana pendapatnya, Pdt. Andreas menjawab bahwa anak muda ini sebenarnya memiliki wawasan yang luas dan sangat pintar. Lebih lanjut Pdt. Andreas mengatakan bahwa anak muda ini belum pernah menjumpai masalah yang besar, sampai dirinya merasa terjepit, tidak dapat berbuat apa-apa, dan yang bisa dilakukan hanyalah melihat ke Atas, dan berharap hanya pada Tuhan.
Kenapa hari-hari ini banyak orang sudah tidak percaya lagi sama Tuhan? Karena mereka belum pernah sampai dalam keadaan merasa begitu desperate / putus asa, sampai yang bisa dilakukan hanyalah melihat ke Atas, dan berharap hanya pada Tuhan.
Masalah tidak pernah memandang bulu, siapapun dapat dihampirinya, oleh karena itu jangan pernah mengolok seseorang yang sedang kena masalah. Justru, belajarlah untuk menguatkan mereka. Terkadang Tuhan menghadirkan masalah untuk dapat membawa kita datang kembali kepada-Nya.
Ketiga. Perlunya menguatkan kepercayaan.
“Dan Daud sangat terjepit, karena rakyat mengatakan hendak melempari dia dengan batu. Seluruh rakyat itu telah pedih hati, masing-masing karena anaknya laki-laki dan perempuan. Tetapi Daud menguatkan kepercayaannya kepada TUHAN, Allahnya.” (ayat 6).
Ada seorang anak yang bermain perahu kecil di sebuah sungai, dan perahunya terhanyut semakin menjauh dari anak ini. Lalu ada seorang bapak yang datang, mengambil batu, dan melempar batu tersebut lebih jauh dari perahu tersebut untuk menimbulkan gelombang. Dan semakin banyak batu yang dilempar, maka semakin banyak gelombang yang ditimbulkan, dan membawa perahu tersebut ke tepian sungai.
Terkadang hidup kita diizinkan tertimpa masalah, sama seperti dilempar batu tersebut, agar kita dapat datang mendekat kembali pada Tuhan. Sering kali kita sebagai manusia suka menyelonong seenak kita sendiri, dan tanpa disadari kita justru menjauh dari-Nya. Di balik setiap permasalahan yang diizinkan-Nya datang, Tuhan ingin agar kita terus mendekat pada-Nya. Bukan semakin menjauh dari-Nya.
Menguatkan Kepercayaan pada Tuhan.
“Tetapi Daud berpikir dalam hatinya: “Bagaimanapun juga pada suatu hari aku akan binasa oleh tangan Saul. Jadi tidak ada yang lebih baik bagiku selain meluputkan diri dengan segera ke negeri orang Filistin; maka tidak ada harapan bagi Saul untuk mencari aku lagi di seluruh daerah Israel dan aku akan terluput dari tangannya.”” (1 Samuel 27:1).
“Maka pada hari itu Akhis memberikan Ziklag kepadanya; itulah sebabnya Ziklag menjadi kepunyaan raja-raja Yehuda sampai sekarang.” (ayat 6).
Ayat di atas adalah alasan mengapa Daud dan orang-orangnya berada di Ziklag. Daud berpikir dengan menetap di daerah musuh dari bangsa Israel merupakan hal yang baik baginya, karena dapat meluputkan dirinya dari kejaran Saul. Tetapi di ayat di atas kita menemukan bahwa Daud tidak bertanya pada Tuhan terlebih dahulu, mengenai tempat yang dipikirnya aman.
Oleh karena itu, Daud di Ziklag tidak mau kecolongan lagi. Dirinya telah belajar dari kesalahannya yang pertama agar tidak terulang musibah yang bahkan jauh lebih parah di Ziklag. Daud memutuskan untuk tetap menguatkan kepercayaannya dengan tetap datang pada Tuhan.
Firman Tuhan menceritakan pada kita,
“Kemudian bertanyalah Daud kepada TUHAN, katanya: “Haruskah aku mengejar gerombolan itu? Akan dapatkah mereka kususul?” Dan Ia berfirman kepadanya: “Kejarlah, sebab sesungguhnya, engkau akan dapat menyusul mereka dan melepaskan para tawanan.”” (30:8).
Secara manusia, hal ini menjengkelkan. Tidak perlu dipertanyakan kembali pada Tuhan, kita harus mengejar untuk mendapatkan kembali orang-orang yang kita kasihi. Tetapi Daud memberikan teladan, dirinya tetap mau datang dan bertanya apa yang menjadi maunya Tuhan.
Melalui nabi Yesaya kita belajar,
“Tetapi Tuhan ALLAH menolong aku; sebab itu aku tidak mendapat noda. Sebab itu aku meneguhkan hatiku seperti keteguhan gunung batu karena aku tahu, bahwa aku tidak akan mendapat malu.” (Yesaya 50:7).
Kalau kita kena masalah, kita juga dapat membacakan ayat di atas dalam hidup kita. Sewaktu masalah datang, apa yang kita perkatakan? Bagaimana dengan sikap kita? Apakah kita selama ini suka untuk menyalahkan orang lain, padahal tidak sepenuhnya adalah salah orang tersebut? Perkatakan perkataan yang positif dan pernyataan iman. Hal inilah yang membuat hari-hari kita diwarnai dengan kemenangan.
Nabi Habakuk mengatakan,
“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.” (Habakuk 3:17-18).
Apakah kita dapat tetap mengatakan ayat di atas, sekalipun diizinkan melalui lembah kekelaman, hasilnya mengecewakan, tetapi kita tetap mau “bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan” (ayat 18)?
What happen in you, will happen to you. Sewaktu masalah datang, apa yang kita perkatakan dan imankan akan terjadi di dalam hidup kita.
Paulus menceritakan pengalamannya,
“Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa.” (2 Korintus 4:8-9).
Paulus sudah habis akal, tidak tahu harus apa lagi yang dilakukan, tetapi dirinya tetap tidak berputus asa. Sedangkan kita sudah berputus asa terlebih dahulu, padahal kita masih belum berpikir dengan maksimal, dan bisa jadi masih ada jalan lain yang dapat kita lakukan di dalam hidup ini.
Mengapa kita harus menguatkan kepercayaan kita pada Tuhan?
Pertama. Karena pada suatu hari kelak saat kita menghadapi masalah, tidak selalu ada seseorang yang dapat menguatkan kita.
Suami / istri, hamba Tuhan, Ketua Contact, sahabat kita, dan siapapun bisa saja memiliki kesibukannya masing-masing. Kita harus menguatkan iman dan kepercayaan kita pada Tuhan, karena akan datang sebuah masa di mana yang dapat menguatkan diri kita hanyalah diri kita sendiri.
Kedua. Karena dengan menguatkan kepercayaan kita pada Tuhan, kita dapat bertumbuh menjadi semakin dewasa rohani.
Kalau kita kuat rohani hanya bersumber selalu “disuntik” dari kata-kata positif orang lain, kapan kita akan bertumbuh menjadi dewasa secara rohani? Harus ada inisiatif pribadi dari kita untuk dapat menguatkan iman dan kepercayaan kita pada Tuhan. Memiliki inisiatif untuk berdoa dan membangun hubungan yang lebih karib bersama Roh Kudus, membaca kebenaran firman Tuhan / Alkitab, dan tidak menjauhkan diri dari setiap pertemuan ibadah (Ibrani 10:25).
Tidak mungkin kita dapat menjadi dewasa secara rohani bila apa yang kita lakukan selama ini tidak membawa kita menjadi pribadi yang lebih baik, dari satu level ke level selanjutnya.
Ketiga. Setelah kita bertumbuh menjadi semakin dewasa dalam rohani, kita dapat menguatkan iman dan semangat orang lain.
Kalau selama ini kita sudah terbiasa dalam menguatkan diri sendiri, maka kita akan menjadi sangat mudah untuk menguatkan iman sesama.
Firman Tuhan mengatakan,
“Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”” (Matius 22:37-40).
Pelajaran yang dapat kita petik dari 1 Samuel 30 adalah,
Pertama. Daud ingin memastikan bahwa apa yang dia lakukan itu sesuai dengan kehendak Tuhan.
“Kemudian bertanyalah Daud kepada TUHAN, katanya: “Haruskah aku mengejar gerombolan itu? Akan dapatkah mereka kususul?” Dan Ia berfirman kepadanya: “Kejarlah, sebab sesungguhnya, engkau akan dapat menyusul mereka dan melepaskan para tawanan.”” (1 Samuel 30:8).
Kalau kita yang menjadi pengikut Daud, lalu melihat pemimpin kita berdoa apakah harus mengejar gerombolan tersebut, bagaimana perasaan kita? Pastinya kita akan merasa jengkel, karena jawabannya pasti harus kita kejar. Tetapi pelajarannya di sini adalah, Daud tetap menahan diri dan juga emosinya sampai dia dapat memastikan dengan benar bahwa apa yang menjadi keputusannya bukan karena dorongan emosinya, tetapi benar-benar merupakan kehendak Tuhan.
Tak sedikit masalah yang timbul dikarenakan kita sedang emosi. Saat emosi, kita sering membuat pernyataan yang dapat melukai perasaan orang lain. Daud memastikan keputusan yang dia ambil tidak dibuat saat emosinya bergejolak.
Saat berada di dalam keadaan emosi, bisa jadi kita sedang dalam keadaan marah, takut, dan pahit. Berhati-hatilah agar jangan sampai kita membuat statement / pernyataan apa pun, karena hal itu bisa jadi dapat melukai perasaan orang lain.
Kedua. Ada yang mogok berhenti.
“Lalu pergilah Daud beserta keenam ratus orang yang bersama-sama dengan dia, dan sampailah mereka ke sungai Besor. Sementara orang-orang yang mau tinggal di belakang berhenti di sana, maka Daud melanjutkan pengejaran itu beserta empat ratus orang. Dua ratus orang yang terlalu lelah untuk menyeberangi sungai Besor itu, berhenti di sana.” (ayat 9-10).
Kalau Tuhan bilang “Iya”, maka belum tentu yang menjadi kehendak Tuhan tersebut semuanya dapat berjalan dengan mulus. Pada mulanya Daud membawa enam ratus orang, tetapi dua ratus orang di ayat di atas dikatakan terlalu lelah untuk pergi dan memutuskan untuk berhenti.
Ketiga. Sempat kehilangan arah.
“Daud bertanya kepadanya: “Dapatkah engkau menunjuk jalan kepadaku ke gerombolan itu?” Katanya: “Bersumpahlah kepadaku demi Allah, bahwa engkau tidak akan membunuh aku, dan tidak akan menyerahkan aku ke dalam tangan tuanku itu, maka aku akan menunjuk jalan kepadamu ke gerombolan itu.”” (ayat 15).
Kalau Tuhan memimpin kita, pasti ada saja cara yang Dia berikan pada kita. Dia dapat memakai siapapun untuk berbicara dan menyatakan kehendak-Nya, bahkan termasuk melalui anak-anak kita.
Pada suatu hari Pdt. Andreas membawa Alkitab karena mau membacanya. Tetapi anaknya pada saat itu berkata kalau Pdt. Andreas pasti mau menyiapkan diri untuk menyampaikan khotbah di hari Minggu. Melalui peristiwa ini, Pdt. Andreas diberi hikmat oleh Tuhan agar dapat lebih rajin lagi dalam membaca dan merenungkan kebenaran firman Tuhan di dalam Alkitab di setiap waktu.
Keempat. Memakai hikmat.
“Dan pada keesokan harinya Daud menghancurkan mereka dari pagi-pagi buta sampai matahari terbenam; tidak ada seorangpun dari mereka yang lolos, kecuali empat ratus orang muda yang melarikan diri dengan menunggang unta.” (ayat 30).
Kalau pada saat itu Daud bersama dengan empat ratus orang pengikutnya menyerang hanya dengan dikuasai emosi, maka mereka akan langsung menyerbu ke tempat musuh dan tidak berpikir panjang. Apalagi mereka menyerang musuhnya kali ini juga bertujuan untuk menyelamatkan istri dan anak-anak yang telah ditawan.
Dan walaupun Daud tahu bahwa menyerang musuhnya ini merupakan kehendak dari Tuhan (30:8), tetapi Daud juga diberi hikmat untuk melangkah. Sehingga Daud tahu kapan saatnya Tuhan menyuruhnya untuk maju, atau kapan Dia menyuruh untuk berhenti.
Pada waktu menanti, hati bisa menjadi panas, apalagi melihat anggota keluarga sedang ditawan musuh. Tetapi Daud dan orang-orangnya tetap menanti dengan tenang, sampai musuhnya tertidur lelap. Mereka menanti waktu yang tepat untuk menghancurkan musuh-musuh mereka.
Kelima. Perkataan yang berhikmat akan menjadi peraturan.
“Dan demikianlah halnya sejak hari itu dan seterusnya; hal itu ditentukannya menjadi ketetapan dan peraturan bagi orang Israel sampai sekarang.” (ayat 25).
Kita dapat mencapai kemenangan di dalam hidup ini, semuanya hanya karena berkat dan anugerah dari Tuhan. Seseorang yang tidak dikuasai emosi, maka ada hikmat Tuhan yang menuntun hidupnya. Apa pun yang menjadi tanggung jawab dan pekerjaan kita, semua sudah ada bagian dan berkat terbaik-Nya tersendiri. Kalau kita bekerja dengan baik dan rajin, maka Tuhan pasti memelihara. Jadikan hidup kita sebagai sebuah legacy / warisan dan juga value / nilai yang dapat diikuti oleh orang-orang di sekitar kita. Semua nilai dibentuk dari kebenaran firman Tuhan yang hidup / Alkitab.
Itulah sebabnya kita harus belajar untuk mengetahui God’s Will / kehendak Allah dengan membaca firman-Nya / Alkitab, mengetahui God’s Timing / Waktu Allah yang tepat, sehingga kita dapat mengenal dan mengalami God’s Power / kuasa Allah di dalam hidup kita. Banyak orang ingin mengalami kuasa Allah, tetapi tidak banyak dari mereka yang mau bersabar dan menanti waktu-Nya.
Amin. Tuhan Yesus memberkati..
Comments