Catatan Khotbah: “Mengapa Mengucap Syukur?” Ditulis dari sharing khotbah Bp. Pdt. Andreas Rahardjo di Ibadah Tutup Tahun di MDC Putat Surabaya pada Tgl. 31 Desember 2023..
Tidak terasa sebentar lagi kita akan memasuki tahun 2024, sebuah tahun yang mungkin bisa jadi tidak lebih mudah dari tahun 2023, dan banyak tantangan baru yang tersedia di depan kita. Tetapi melalui semuanya itu, teruslah mempercayai bahwa Tuhan yang kita sembah itu tetaplah sama, dahulu, sekarang, dan sampai selamanya. Untuk itulah di tahun 2024 dan juga tahun-tahun mendatang kita perlu untuk melekat lebih lagi kepada Tuhan. Dan juga mengakhiri tahun 2023 ini dengan mengucap syukur atas berbagai berkat dan penyertaan-Nya.
“Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” (1 Tesalonika 5:18).
Tidak ada hal yang lebih baik untuk mengakhiri tahun 2023 ini dengan menaikkan ucapan syukur kepada Tuhan. Bahkan firman Tuhan juga menulis agar kita melakukannya “dalam segala hal”, baik keadaan yang kita lalui sedang baik-baik saja maupun kurang baik, biarlah kita selalu belajar untuk mengucap syukur kepada-Nya.
Bagian Pertama. Menurut seseorang yang bernama Hannah More, mengucap syukur adalah refleksi dari,
Pertama. Pengakuan kita atas segala kebaikan Tuhan, karena hal ini akan memampukan kita untuk dapat melihat kebesaran-Nya.
Seseorang yang tidak bisa melihat kebaikan Tuhan di dalam segala hal yang terjadi di dalam hidupnya, maka dirinya akan terjebak dengan kebiasaan yang suka mengomel, dan pada akhirnya hal ini akan menghalangi dirinya untuk dapat melihat the goodness of the Lord / kebaikan Tuhan. Berhati-hatilah dengan kebiasaan yang suka mengomel, karena dapat membawa kita pada banyak hal yang kurang baik.
Demikian sebaliknya, bila kita suka bersyukur maka kita sedang mengakui kebaikan Tuhan yang terjadi di dalam hidup, yang walaupun tidak selalu sesuai bentuknya dengan apa yang kita doa dan harapkan selama ini, tetapi pada akhirnya akan memampukan setiap kita untuk dapat melihat kebesaran Tuhan di dalam hidup kita.
Kedua. Pengakuan akan ketidaklayakan kita, dan hal ini akan menjadikan kita menjadi seseorang yang lebih rendah hati.
Seseorang yang sombong dan tinggi hati, sangat jarang ada yang bisa mengucap syukur. Hanya orang-orang rendah hati, yang dapat melakukannya. Bisa jadi segala sesuatu bermula dari omelan, tetapi pada akhirnya diakhiri dengan pemberontakan. Firman Tuhan juga mengatakan pada kita bahwa keadaan akhir zaman,
“Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah. Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!” (2 Timotius 3:1-5).
Dari berbagai ayat di atas, ada tertulis kata “tidak tahu berterima kasih” dan berbagai sifat manusia yang suka mengeluh dan semaunya sendiri, dan semuanya ini pada akhirnya menuju pada sikap pemberontakan. Kalau kita tidak dapat melihat bagaimana Tuhan yang sesungguhnya masih terus bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi setiap kita anak-anakNya di dalam segala hal, maka kita akan terus menggerutu, dan dari sana akan mulai lahir titik-titik pemberontakan di hidup kita.
Tuhan membenci omelan. Bangsa Israel dikeluarkan dari Mesir, mereka melihat banyak mukjizat dan pertolongan Tuhan yang terjadi dalam hidup mereka. Selama ratusan tahun mereka hidup dijajah bangsa Mesir, tetapi justru Tuhan memberi mereka kemenangan demi kemenangan dalam melawan bangsa-bangsa kuat yang ada di depan mereka.
Tetapi ketika mereka bersungut-sungut dan mulai menggerutu, Tuhan berfirman pada mereka,
“Semua orang yang telah melihat kemuliaan-Ku dan tanda-tanda mujizat yang Kuperbuat di Mesir dan di padang gurun, namun telah sepuluh kali mencobai Aku dan tidak mau mendengarkan suara-Ku, pastilah tidak akan melihat negeri yang Kujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang mereka! Semua yang menista Aku ini tidak akan melihatnya.” (Bilangan 14:22-23).
“Tetapi mengenai kamu, bangkai-bangkaimu akan berhantaran di padang gurun ini, dan anak-anakmu akan mengembara sebagai penggembala di padang gurun empat puluh tahun lamanya dan akan menanggung akibat ketidaksetiaan, sampai bangkai-bangkaimu habis di padang gurun. Sesuai dengan jumlah hari yang kamu mengintai negeri itu, yakni empat puluh hari, satu hari dihitung satu tahun, jadi empat puluh tahun lamanya kamu harus menanggung akibat kesalahanmu, supaya kamu tahu rasanya, jika Aku berbalik dari padamu:” (ayat 32-34).
Karena bangsa Israel suka bersungut-sungut, maka Tuhan menyamakan hal tersebut dengan ketidaksetiaan dan kesalahan, serta menghukum mereka dengan kembali berputar di padang gurun selama empat puluh tahun lamanya.
“Ketika Paulus melihat mereka, ia mengucap syukur kepada Allah lalu kuatlah hatinya.” (Kisah 28:15b).
Hal yang bisa menggerogoti iman kita adalah omelan dan sikap menggerutu. Tetapi kita dapat belajar ketika Paulus mau untuk mengucap syukur pada Allah, hatinya kembali dikuatkan. Firman Tuhan juga mengatakan,
“Hari orang berkesusahan buruk semuanya, tetapi orang yang gembira hatinya selalu berpesta.” (Amsal 15:15).
Bila mau mencari hari yang baik, belajarlah untuk selalu mengucap syukur. Saat kita belajar mengucap syukur pada Tuhan di dalam segala hal, maka Dia yang akan menguatkan hati dan iman kita. Semuanya dapat menjadi baik, kerohanian kita dapat stabil, iman menjadi kuat, dan membuka kehidupan yang berkualitas.
Ketika semenjak anak-anak, mereka dilatih untuk belajar mengucap syukur atas semua makanan yang tersedia di meja makan. Hal ini mengajarkan mereka untuk tidak rewel dan menghadapi kenyataan hidup dengan lebih tegar, untuk dapat belajar mengucap syukur dalam segala hal.
Jangan sampai iman kita menjadi keropos karena sikap kita yang suka mengomel.
Bagian Kedua. Memperdalam Kerohanian.
“Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.” (Kolose 2:7).
Mengapa kerohanian itu penting? Karena akan mempengaruhi nilai-nilai yang kita pegang, cara berpikir, dan mempengaruhi tindakan kita.
Banyak orang hanya memperhatikan hidup tampak luar yang terlihat oke, nyaman, dan terlihat baik-baik saja. Padahal hidup kerohanian itu sangatlah penting dan berpengaruh.
Pertama. Nilai-nilai yang kita pegang.
Seseorang bisa connect dengan lainnya atau komunitas yang memiliki nilai hidup yang sama. Bisa jadi ada seseorang yang dari kecil rajin ke gereja, tetapi pada saat sudah dewasa tidak memperhatikan dengan benar bagaimana pergaulannya, sehingga menjalani sebuah kehidupan yang menyakiti hati Tuhan. Mengapa? Karena dirinya tidak memiliki standar nilai yang kuat dalam hidupnya, sehingga terhanyut arus dunia.
Kedua. Pada cara berpikir kita.
Watchman Nee pernah mengatakan bahwa seseorang bisa saja terlihat begitu Kristen, tetapi pikirannya penuh dengan nilai-nilai dunia, sehingga akhirnya berpengaruh dalam tindakannya.
Kebenaran firman Tuhan adalah sebuah jalan di mana Tuhan dapat bekerja lebih lagi di dalam hidup kita. Hanya Tuhan dan firman-Nya yang kekal. Lainnya bersifat tidak kekal.
Ps. Paul Pitoy pernah membuka rumahnya sebagai tempat untuk mengasuh orang-orang yang sudah lanjut usia. Pada suatu hari, dirinya menunjukkan pada Pdt. Andreas seorang profesor yang beraktivitas membaca koran sambil menonton televisi. Di ruangan lainnya, tampak terlihat ada seorang perempuan lanjut usia, yang berbaring di tempat tidur.
Perempuan ini merupakan istri dari seorang hamba Tuhan yang sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Sekilas kedua orang tersebut tampak terlihat biasa, sampai Ps. Paul mengajak Pdt. Andreas untuk mengamati lebih dekat dan mendengar apa yang sedang mereka perkatakan.
Profesor tersebut perkataannya penuh dengan sumpah serapah, sedangkan istri dari hamba Tuhan perkataannya selalu “Praise God. I love You, Lord.” Padahal perempuan tersebut baru saja jatuh dan terlihat memegang pinggangnya yang terasa sakit. Keduanya memang sudah pikun / lupa ingatan. Didatangi anak-anaknya sudah tidak dapat mengenalinya lagi.
Tetapi pada saat mereka berdua masih muda dan kuat ingatannya, di sepanjang hidupnya selalu diisi dengan nilai-nilai kebenaran firman Tuhan. Sehingga pada saat mereka sudah pikun / lupa ingatan, yang tersimpan dan tersisa di dalam memori pikirannya hanyalah perkataan yang terus memuliakan nama-Nya.
Kalau hidup kerohanian berjalan oke, maka kehidupan jasmani kita juga akan mendapatkan tuntunan dari Tuhan. Selain itu, ketika ada seseorang yang menceritakan masalahnya, maka kita tidak hanya menyelesaikan masalahnya saja, tetapi juga mencari dan menyelesaikan akar dari permasalahannya. Sadarlah bahwa di dalam segala sesuatu, Tuhan masih terlibat dan selalu turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Roma 8:28).
Marilah kita belajar untuk selalu mengasihi Tuhan, memperhatikan hidup kerohanian agar dapat bertumbuh, dan juga menjadi pelaku dari kebenaran firman Tuhan. Kehidupan Kristus yang semakin bertambah, dan kerohanian kita juga semakin bertumbuh serupa dengan-Nya.
Usia tidak selalu menunjukkan kedewasaan. Ada yang berusia muda tetapi sangat dewasa pola pikir dan sikapnya. Dan biarlah kerohanian kita terus bertumbuh, agar nantinya kita juga akan bersikap mature / penuh kedewasaan. Seorang suami dan istri tidak hanya membutuhkan rupa dan kekayaan saja, tetapi lebih dari itu Kristus yang berada di dalam hidup mereka masing-masing untuk dapat dibagikan. Anak-anak pun sama, mereka membutuhkan pengayoman kedua orang tuanya, sama seperti Kristus yang mengasihi dan mengayomi hidup mereka.
Bagian Ketiga. Menyederhanakan Hidup.
“Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.” (Ibrani 12:1-2).
Di ayat di atas dikatakan “menanggalkan beban dan dosa”. Beban itu adalah sesuatu yang sebenarnya tidak diperlukan, dan bila berlebihan dapat membuat kita stres. Marilah kita menyederhanakan hidup ini. Hidup jadi kompleks dan berat ketika kita membandingkan apa yang terjadi di dalam hidup kita, dengan apa yang terjadi di dalam hidup orang lain.
Misalnya saat liburan ini. Puji Tuhan bila Dia memberi kita berkat dapat berlibur ke luar kota, dan ke luar negeri. Tetapi kalau seandainya kita tetap di Surabaya, kita juga tetap memuji Dia.
Jangan sampai kita memaksa untuk memiliki ambisi yang jauh lebih besar dari kekuatan finansial kita, dan nantinya malah justru akan berbalik dan menghantam kita sendiri.
Rasa cukup itu penting, tetapi beban itu justru ingin menarik perhatian orang lain. Kita ingin posting di Instagram untuk mendapat banyak “wow” dan “likes” dari lainnya, kita menyukai dan terus mengejarnya, sehingga pada akhirnya finansial kita menjadi bermasalah.
Sesungguhnya kita tidak perlu hidup dengan “wow” dari orang lain. Jadilah cukup dan merasa puas dengan “wow” kita sendiri, karena kita bisa bahagia dan bebas bisa makan apa adanya, penuh dengan ucapan syukur kepada-Nya.
Sederhanakan hidup kita, karena dari sana akan lahir kebahagiaan. Jangan sampai gaya hidup kita lebih besar dari income / pendapatan kita.
Bagian Keempat. Mengembangkan Sikap yang Baik.
“Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.” (Galatia 6:7).
Hidup ini sudah sulit, jangan dipersulit lagi dengan perkataan dan perbuatan kita yang tidak memuliakan nama-Nya. Bagaimana arah hidup kita, bahkan favor / perkenanan Tuhan juga bergantung dari bagaimana attitude / sikap kita.
Ada cerita dari Pdt. Andreas yang pernah mengikuti kelas Konstruksi Beton 1, pada saat dirinya masih berkuliah. Dosennya begitu teliti dan sangat pelit dalam memberi nilai, sembilan puluh persen lebih dari mahasiswa yang mengikuti kelasnya dinyatakan tidak lulus dan harus mengulang pelajarannya.
Ketika mahasiswa yang harus mengulang merasa tidak terima dan menemui dosen di ruangannya, mereka semua merasa bisa dan tidak ada seorangpun yang mau menyadari kesalahannya. Menyikapi sikap mereka, dosennya bertambah marah dan menyuruh mereka untuk meninggalkan ruangan dosen tersebut.
Hingga tiba giliran dari Pdt. Andreas yang menjumpai dosen tersebut. Dan belajar dari pengalaman teman-teman sebelumnya, dirinya bertanya dengan rendah hati pada dosen ini untuk menunjukkan di mana letak kesalahan yang sudah diperbuatnya, karena dirinya mau belajar agar tidak mengulangi lagi kesalahan tersebut, dan mau belajar agar dapat lulus.
Dosennya merasa senang dengan sikap dari Pdt. Andreas dan menunjukkan bahwa prinsip yang dikerjakan sebenarnya sudah benar, hanya saja perhitungannya yang salah. Perhitungannya harus benar dan teliti, karena kalau tidak, rumah yang dirancang dan dibangun dapat roboh. Lebih lanjut Pdt. Andreas meminta tugas untuk dikerjakan pada saat liburan, dan meminta izin untuk tidak mengulang kelas ini lagi dengan mengerjakan tugas-tugas tersebut.
Dosennya memberi sepuluh soal yang terdapat di dalam buku pelajarannya, dan memberi waktu selama tiga hari untuk dapat menyelesaikannya. Dan bila ada satu soal saja yang salah, maka dirinya dinyatakan tidak lulus.
Hari pertama, kesepuluh soal itu sudah selesai dikerjakan, tetapi Pdt. Andreas memilih untuk memeriksanya kembali di hari yang kedua. Dan di hari yang ketiga, baru dikumpulkan. Dosen yang memeriksanya memutuskan untuk meluluskan Pdt. Andreas untuk naik ke kelas berikutnya yakni, Kontruksi Beton 2. Teman-temannya tidak mempercayai atas apa yang diraih Pdt. Andreas, karena bisa melanjutkan pelajaran selajutnya.
Mendapatkan favor atau tidak itu semua bergantung dari attitude / sikap yang kita jalani. Kalau kita mau mengubah attitude kita, maka kita dapat mengubah arah hidup kita. Apa yang kita tabur, nantinya akan kita tuai.
Bagian Kelima. Hidup oleh Iman.
“Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: "Orang benar akan hidup oleh iman."” (Roma 1:17).
Dunia iman adalah dunia yang dinamis, di mana roh kita menyala-nyala dan bersemangat di dalam melayani-Nya. Di dalam dunia kekuatiran, roh kita tenggelam karena berbagai keadaan yang menekan. Tetapi Tuhan itu bekerja membuat mukjizat justru di dalam dunia iman.
“Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa;” (2 Korintus 4:8).
Rasul Paulus sudah berpikir semaksimal mungkin dan kehabisan akal, tetapi dirinya tidak berputus asa. Kita belum berpikir, sudah stres duluan.
Masih ingat kisah seorang perempuan yang mengalami pendarahan selama dua belas tahun lamanya, dan hartanya habis digunakan untuk berobat ke berbagai tabib, tetapi tidak mengalami kesembuhan (Markus 5:25-34)? Sekalipun keadaannya justru memburuk, tetapi semangatnya tidak ditenggelamkan oleh masalah yang sedang dihadapinya. Dalam dunia iman, perempuan tersebut menjamah jubah-Nya, dan akhirnya mendapat kesembuhan dari-Nya.
Bagaimana dengan kerohanian dan semangat kita pada hari-hari ini? Banyak orang pintar, tetapi hidupnya dikuasai kekuatiran dan rohnya pada akhirnya tenggelam terhanyut oleh arus dunia. Tidak salah dengan orang yang pintar, tetapi yang terpenting di sini adalah tetaplah hidup di dalam dunia iman, dan biarlah roh kita terus menyala-nyala dan tetap bersemangat melayani Tuhan di dalam hidup kita.
“Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?" (Lukas 18:8b).
Bagian Keenam. Hari-hati dengan Jerat Emosi.
“Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan.” (Efesus 4:31).
Jangan memasuki tahun 2024 dengan emosi yang tak terkendali, semua masalah pasti ada penyelesaiannya. Tetapi yang sering kali terjadi sebenarnya sumber masalahnya kecil, tetapi karena gejolak emosinya besar dan tidak terkendali, maka penyelesaian masalahnya jadi bertambah panjang dan tidak selesai.
Masalah sebenarnya bisa jadi kita hanya diejek oleh sesama, dan penyelesaian sebenarnya mudah, meminta agar Tuhan mau mengampuni, kita juga mau mengampuni, dan selesai sudah masalahnya. Tetapi masalah justru jadi bertambah panjang dan tidak selesai ketika kita diejek, lalu kita merasa sakit hati, marah, harga diri merasa terinjak, dan berbagai gejolak emosi mewarnai sikap kita.
Setan selalu mempermainkan emosi. Jangan sampai kita menjadi seseorang yang tidak dewasa, kita tidak pernah dapat menyelesaikan masalah, dan selalu berkutat hanya pada gejolak emosi yang tak ada habisnya.
Bagian Ketujuh. Membangun Kehidupan Doa yang Kuat.
“Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu.” (Lukas 18:1).
Doa adalah dimensi rohani yang sangat luas karena Allah kita adalah Allah yang luar biasa. Tetapi sering kali banyak dari antara kita yang hanya sebatas melakukan “berdialog dengan Tuhan,” tetapi kita tidak mau melanjutkannya sampai di tahap “berseru pada Tuhan”.
Pdt. Jeremia Rim pernah berkata,
“Ketika kita menghadapi masalah, biarlah doa kita itu menolong diri kita sendiri terlebih dahulu. Kalau doa kita tidak dapat menolong diri kita sendiri, maka doa kita juga tidak akan dapat menolong masalahnya orang lain. Doa kita baru dapat menjadi berkat bagi orang lain, kalau doa tersebut sebelumnya sudah pernah menjadi berkat bagi diri kita sendiri.”
Gereja Tuhan menjadi Gereja yang kuat secara rohani, ketika umat-Nya terus mendekatkan diri pada Tuhan, dan menjadi pelaku firman. Dan gereja Tuhan akan tetap bertahan di berbagai masa, termasuk yang sulit sekalipun.
Orang Kristen yang tidak serius dengan kehidupan doanya, maka dirinya tidak pernah serius dengan hidup Kekristenannya.
Biarlah gereja MDC Surabaya terus diurapi, dipakai, dan dimampukan Tuhan untuk dapat menjadi Rumah Doa bagi segala bangsa.
Amin. Tuhan Yesus memberkati..
Comments