Catatan Khotbah: “Mengenal Kasih-Nya.” Ditulis dari sharing Bp. Pdt. Agus Lianto, di Ibadah Minggu di MDC Graha Pemulihan pada Tgl. 11 Februari 2024.
Amazing Grace tidak hanya membebaskan hidup kita dari dosa saja, tetapi juga menjaga dan membimbing kita untuk tidak menjalani hidup yang rusak / hancur. Kita mengkonsumsi dan membutuhkan anugerah sesungguhnya lebih untuk memampukan kita untuk hidup di dalam kekudusan daripada sekadar lepas dari dosa, karena anugerah bekerja paling maksimal dan memampukan setiap kita untuk berjalan di dalam kekudusan. Selain itu, kita juga memerlukan anugerah untuk dapat mengenal lebih dalam tentang kasih Allah.
Mengenal Kasih-Nya.
“Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.” (Efesus 3:18-19).
Ayat di atas adalah doa dan kerinduan yang dimiliki Paulus, agar kita dapat memahami dan mengenal betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Allah.
Sesungguhnya kita dapat mengenal-Nya karena kita telah mengalami-Nya secara pribadi di dalam hidup ini. Pada saat kita dapat mengenal-Nya, hal ini memiliki tujuan agar hidup kita dapat dirubah menjadi serupa seperti Kristus dan kita dapat meneladani-Nya.
Melakukan kebenaran firman Tuhan tidaklah berat, karena hidup kita justru akan lebih mudah dan kita akan mengalami kepenuhan-Nya di dalam hidup. Dan kalau kita mengalami firman, maka kita tidak akan kekurangan sesuatupun yang baik. Waktu mengejar kesempurnaan seperti Kristus, sesungguhnya ini bukanlah hal yang berat. Bagi dunia memang tidaklah mungkin, tetapi kita bisa mendapat banyak berkat dan mengalami kepenuhan hidup ketika melakukannya.
Apa jadinya hidup kita, kita mempunyai dan menjalani hidup seperti apa, seratus persen hal ini ditentukan dari pengenalan pribadi kita akan Allah. Kalau kita tidak mengenal Allah, atau mengenal Dia dengan cara keliru, maka hidup kita akan menyimpang dan tidak mengalami-Nya dengan maksimal. Allah memang luas dan tak terbatas, tetapi firman Tuhan mengatakan bahwa kita diciptakan segambar dan serupa dengan-Nya. Dan hal ini memiliki arti bahwa hidup kita juga diberikan kapasitas dan kemampuan untuk dapat menjadi serupa dengan Diri-Nya.
“Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” (Kejadian 1:26-27).
Perumpamaan Anak yang Hilang.
Ayat Bacaan: Lukas 15:11-32.
Di dalam seluruh kisah di dalam Alkitab, tidak ada gambaran kisah yang menunjukkan Allah yang diperlambangkan sebagai seorang Bapa yang berlari menyambut seseorang yang dianggap sebagai anak-Nya yang terhilang.
Dari kisah perumpamaan tentang anak yang hilang di dalam Lukas 15:11-32, kita dapat belajar untuk Mengenal Kasih-Nya yakni,
Pertama. Kasih-Nya itu Sabar.
“Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya.” (Lukas 15:12-13).
“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.” (1 Korintus 13:4,7).
Kasih itu sabar dan memberi kebebasan pada pada seseorang yang kita kasihi untuk dapat memilih apa yang dirinya mau untuk lakukan. Sebab tanpa kebebasan, maka kasih menjadi tidak berarti. Kasih mengandung risiko, semakin dalam kita mengasihi seseorang, maka hati kita semakin dapat dibuat hancur olehnya. Tetapi bila kita ingin mengendalikan kasih tersebut, maka hal itu dapat memperburuk dan malah membuat sakit hati kedua belah pihak. Membebaskan bukan berarti mengabaikan, karena pengabaian dilakukan hanya untuk menghindari risiko dari kasih.
Dalam kisah perumpamaan di atas, anak bungsu tersebut telah melakukan hal terburuk yang dapat dilakukan seorang anak pada ayahnya, yakni meminta warisan sebelum waktunya (anak tersebut sama saja berharap ayahnya meninggal dunia duluan), serta menghabiskan uang warisan tersebut hanya untuk berfoya-foya.
Tetapi Allah sebagai Bapa digambarkan memberi kebebasan bagi anak tersebut untuk memilih. Dan ketika kita memberi kebebasan untuk seseorang membuat keputusan, maka hati kita dapat disakiti dan dikecewakan, sama seperti ayah tersebut yang pasti sakit hati karena anak bungsunya yang tiba-tiba meminta harta milik yang menjadi haknya, sebelum waktunya tiba.
Tetapi kita belajar bahwa kasih tersebut sifatnya tidak mengendalikan, karena kita tidak bisa memaksa dan dipaksa untuk mengasihi dan dikasihi seseorang. Kasih yang sesungguhnya dapat mendatangkan rasa sakit hati karena memberikan kebebasan pada orang yang kita kasihi untuk memilih. Tetapi bisa terjadi keadaan yang lebih buruk, bila kita selalu berusaha untuk mengendalikan segala sesuatu.
Tetapi bila hati dan perasaan kita tidak mau disakiti siapapun, maka jangan pernah mencintai seorangpun. Simpanlah hati kita dalam-dalam di sebuah peti, serta tutup dan kunci erat peti tersebut. Memang tidak ada seorangpun yang akan menyakiti hati dan perasaan kita, tetapi lama-kelamaan hati kita akan menjadi tawar dan mati.
Kita tidak mungkin hidup tanpa disakiti, karena semua pasti ada risikonya tersendiri. Tetapi kalau kita tidak mau mengampuni, kita akan menjadi sakit hati. Setiap dari kita pasti memiliki harapan dan ekspektasi, tetapi di dalam kebebasan untuk memilih, seseorang bisa saja melanggar semua peraturan, dan mengabaikan perasaan kita.
Setiap keputusan dan pilihan pasti ada risiko dan tanggung jawab yang menyertainya. Kita dapat melihat dari apa yang dialami oleh anak bungsu tersebut,
“Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan iapun mulai melarat. Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya.” (Lukas 15:14-16).
Dalam budaya bangsa Yahudi, kalau bekerja menjadi budak bagi orang asing itu benar-benar dalam keadaan yang jatuh dan melarat. Demikian juga bekerja di ladang untuk menjaga babi yang merupakan pekerjaan haram. Ditambah lagi tidak bisa makan, karena tidak ada seorangpun yang memberikan ampas babi itu kepadanya.
Apa yang dialami anak bungsu tersebut menunjukkan kondisi yang sangat buruk. Tetapi kita melihat bahwa ayahnya tidak turun tangan. Dia membiarkan anaknya melakukan apa yang dia mau, dan hal ini sama saja melihat orang yang kita kasihi harus menanggung akibat dari pilihan yang dia ambil.
Kalau kita selalu mengambil kendali, kasih sejati menjadi tidak mungkin. Bisa jadi seorang anak akan melakukan apa yang kita perintahkan, tetapi hasilnya anak tersebut memang menuruti apa yang menjadi maunya kita, tetapi tanpa mengasihi kita. Atau bisa jadi dirinya akan balik melawan, karena kita selalu berusaha mengendalikan dengan mengatakan apa maunya kita, dan anak tersebut pada akhirnya tidak mengasihi kita.
Tanpa kemerdekaan untuk memilih dan memutuskan dari dalam hati dan kesadaran diri sendiri, maka kasih menjadi tidak mungkin untuk kita dapatkan dan lakukan di dalam hidup ini.
Menerapkan kasih ini tidaklah mudah, kita harus siap untuk terluka. Tetapi pada akhirnya, luka hati tersebut akan kita terima sebagai salah satu bagian dari kehidupan. Kita hidup di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa. Memang tidaklah mudah. Kalau kita hanya mengabaikan begitu saja, maka sakit hati memang hilang, tetapi kasih juga akan hilang. Dan pada akhirnya hal tersebut tidak akan membawa kebaikan apa pun.
Kedua. Kasih-Nya Tak Pernah Berakhir.
“Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.” (Lukas 15:20).
Saat anak bungsu tersebut pergi dari rumah, walau hati ayahnya merasa sakit, dirinya tetap merindukan kapan anaknya pulang. Dan di ayat di atas dikatakan bahwa ayahnya itu berlari mendapatkan dia. Ini adalah gambaran kasih Bapa bagi setiap kita. Mengapa Bapa di Surga bisa berbuat seperti itu?
Fokus Bapa terletak pada nilai sebenarnya dari subyek yang dikasihi-Nya. Setiap orang itu nilainya berharga. Memang dosa sudah merusak segalanya, tetapi dosa tidak dapat mengubah nilai diri seseorang di hadapan Allah. Anak tersebut memang sudah melakukan yang jahat, tetapi tetap tidak mengubah kenyataan yang ada, bahwa dirinya adalah anak bungsu yang dikasihi ayahnya.
Kalau kita berfokus hanya pada kendali atas hidup seseorang, maka kita akan menjadi sakit hati karena bisa jadi orang tersebut di depan kita baik tetapi di belakang kita tidak baik. Kepahitan bukan bersumber dari dosa yang dilakukan orang lain, tetapi justru dari dosa kita sendiri yang bersumber pada keputusan kita yang mementingkan diri sendiri. Kepahitan timbul karena kita berusaha untuk mengendalikan segala sesuatu, sesuai dengan apa maunya kita. Kita merasa sudah berbuat banyak hal, dan kita harus menerima balasan untuk dikasihi.
Kalau kita mengasihi seseorang dengan kasih Bapa, memang kita bisa terluka. Tetapi yang meracuni sukacita itu adalah dosa. Bisa saja hati kita terluka, tetapi kita masih bisa bersukacita. Fokus hidup kita tidak pada diri kita sendiri saja.
Oleh karena itu jangan mudah terkejut dengan dosanya kita dan juga dengan dosa yang diperbuat orang lain. Kalau kita tidak siap, maka hati kita dapat terluka parah. Setiap kedekatan akan selalu menimbulkan luka.
Sekali lagi, kasih yang sabar di atas bukan kasih yang mengabaikan segala sesuatu. Kalau masih berusia 4-5 tahun, kita masih bilang ada risiko dan konsekuensi dari perbuatan mereka, bahkan kita bisa memberi hukuman. Tetapi kalau sudah SMA dan kuliah.. kita hanya bisa memberi nasihat dan masukan, mereka sendiri yang pada akhirnya harus mengambil keputusan. Kita, bahkan Tuhan sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.
Kita mungkin ingin mengendalikan, dan bisa jadi kita akan mencapai keberhasilan. Anak menjadi penurut, tetapi begitu kasih sering dikendalikan, maka kasih itu lama-kelamaan menjadi mati. Belajarlah untuk melepas kendali dan ego. Luka hati tidak harus mengakhiri kasih, tetapi justru dapat memurnikannya menjadi kasih yang tidak egois. Begitu ego dilepaskan, maka kasih dapat bertahan untuk selamanya.
Dalam kasih akan selalu ada long suffering, tetapi dalam kasih kita dibebaskan dari segala sakit hati. Marilah kita belajar untuk memiliki kasih seperti Bapa yang tak berkesudahan. Bisa jadi kita akan sering disakiti, tetapi kita memutuskan untuk tetap menyediakan ruang bagi orang-orang yang kita kasihi.
Ketiga. Kasih Bersukacita atas Pemulihan.
“Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria.” (Lukas 15:22-24).
“Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.” (ayat 28-30).
Bagi anak sulung, kemarahan yang timbul dari sikap menghakimi orang lain adalah hal yang manusiawi. Yunus disuruh Tuhan ke Niniwe, juga pada mulanya tidak mau karena bangsa tersebut adalah bangsa yang jahat dan layak dihukum. Yunus menganggap bahwa Niniwe tidak layak menerima anugerah-Nya. Ketika dimuntahkan ikan, yang kemungkinan persis di pantai Niniwe, Yunus mulai menyerukan agar Niniwe bertobat, sebab bila tidak akan ditunggangbalikkan (Yunus 3:4). Dan saat bangsa tersebut bertobat, Yunus menjadi sangat marah melihat pertobatan mereka.
Mengapa?
Kemarahan yang timbul dari sikap menghakimi orang lain akan melenyapkan sukacita atas terjadinya sebuah pemulihan. Sesungguhnya, pemulihan yang terjadi dalam hidup seseorang untuk mau bertobat dan hidup di dalam kebenaran, jauh lebih berarti dari semua dosa yang pernah dilakukannya. Bukan berarti dosa diremehkan, tetapi bagi Tuhan, ketika kita mau bersungguh hati untuk kembali pada Bapa, itu semua sudah lebih dari cukup bagi-Nya.
Jangan pernah menunda pengampunan. Tinggalkan menyimpan kesalahan dan kejahatan orang lain, dan kejarlah kebenaran. Kita tidak bisa mengampuni karena masih ada ego, tetapi jika kita mau mematikannya maka Tuhan yang nantinya akan menjadi segala-galanya di dalam hidup kita.
Kasih melihat dari sisi pemulihan, tidak hanya berlaku bagi orang lain saja tetapi juga bagi dirinya sendiri. Mungkin kita bisa marah dan frustasi seharusnya seperti ini, terjadi seperti yang kita rencanakan, tetapi malah tidak berhasil. Manusia memiliki watak dan karakter yang tidak semuanya bisa kita ubah sesuai dengan apa maunya kita.
Kalau kita jatuh, bangkitlah. Tidak usah disimpan terlalu lama kesalahan diri kita maupun orang lain. Belajarlah untuk mengampuni diri sendiri. Selama kita bergerak ke arah yang benar, kita jatuh berapa kali pun harus tetap bangkit, pasang senyum yang lebar, dan teruslah melangkah. Kalau arah hidup kita tidak benar, maka lakukanlah metanoia. Mengubah cara berpikir dan jalan hidup kita seratus delapan puluh derajat. Dari mendukakan hati Tuhan, menjadi menyukakan hati-Nya.
Kita masih memiliki kesempatan untuk bangkit dan bertumbuh kembali. Tuhan tidak pernah bertanya pada kita tentang jatuh berapa kali, apakah kita sudah sadar atas segala dosa yang kita perbuat atau tidak. Bagi seorang ayah, anaknya mau kembali padanya itu sudah lebih dari cukup. Yang terpenting adalah mau bangkit dan melangkah kembali.
Sukacita dan suffering / penderitaan bukanlah hal yang berlawanan. Sama seperti kegiatan olahraga yang menyakitkan dan dapat membuat cedera. Tetapi kita suka melakukan kegiatan olahraga tersebut, walaupun harus menderita dibuatnya karena akan membuat tubuh kita menjadi lebih sehat. Ketika bertekun dalam penderitaan di dalam kebenaran firman Allah, maka hal itu akan mendatangkan sukacita di dalam hidup kita.
Tanpa perjuangan, maka hidup tidak akan ada artinya. Sukacita dapat diraih ketika menyadari bahwa semua hal dan peristiwa yang diizinkan Tuhan terjadi di dalam hidup kita, adalah baik adanya. Bahkan termasuk penderitaan. Yang terpenting, seandainya kita terjatuh, arahnya tetap benar yakni, terus mendekat pada Tuhan. Yang Dia hitung adalah berapa kali kita bangkit.
Karena itu jangan pernah menunda pengampunan. Yang tidak bisa mengampuni itu adalah ego kita. Semakin kita mengasihi seseorang, bisa jadi semakin besar ego kita. Dan karena ego tersebut semakin besar, maka kita menjadi semakin sulit mengampuni.
Memikul salib bukanlah pengorbanan, bukanlah membayar harga. Ketika kita menjalani hidup Kekristenan, semua yang kita berikan pada-Nya selama ini akan dikembalikan-Nya. Ketika kita mau mematikan ego, menjadikan Tuhan menjadi segalanya di dalam hidup kita, maka kita akan menemukan bahwa hidup itu ternyata mudah dan lurus adanya.
Itulah sebabnya kita sangat memerlukan anugerah-Nya, agar hidup kita selalu dimampukan untuk dapat melakukan semuanya itu.
Langkah pertamanya adalah apakah kita mau / tidak untuk memiliki dan mengalami kasih seperti ini? Sebuah visi dimulai dari kesadaran akan keindahan untuk hidup dan berjalan di dalam janji-janji Allah, dan betapa amazing kalau kita mau hidup di dalamnya. Buatlah keputusan terlebih dahulu untuk mau hidup di dalam kasih, ambillah keputusan, lalu mintalah hikmat pada Tuhan untuk mencari bagaimana caranya.
Kasih adalah identitas, jadikan diri kita sebagai seseorang yang penuh dengan kasih. Latihlah diri kita sedemikian rupa, sehingga kita menjadi seseorang yang berkarakter kasih. Segala sesuatu yang menuju pada disiplin dan membuat kita bertumbuh pada kemajuan rohani, baiklah kita terus mengejarnya. Puasa, membaca firman Tuhan, membangun kehidupan doa, hidup sederhana, dan banyak hal lainnya. Ketika kita berdisiplin, maka hidup kita akan diubah seperti Kristus, dan kasih di atas akan muncul. Kehidupan doa yang rutin kita bangun akan mengintegrasikan hubungan kita dengan Tuhan nantinya.
Amin. Tuhan Yesus memberkati..
Comments