top of page

Agus Lianto - Berbuah bagi Kristus

Catatan Khotbah: Berbuah bagi Kristus. Ditulis ulang dari sharing khotbah Bp. Pdt. Agus Lianto di Ibadah Minggu di MDC Graha Pemulihan pada Tgl. 20 Oktober 2024.



Kepuasan di dalam hidup puncaknya adalah ketika kita dapat berbuah bagi Kristus, bukan pada saat kita dapat menerima apa saja yang paling diinginkan di dalam hidup. Sebab hari-hari ini kita sedang hidup di dalam zaman di mana orang-orang merasa hidupnya paling berbahagia dan puas ketika mereka mendapatkan yang paling banyak, dan mendapat apa saja yang diinginkannya.


Tetapi yang menjadi kenyataannya adalah, justru pada saat kita mengejar dan dengan mudahnya mendapat semua yang kita inginkan.. kita bisa jadi akan terjebak dan masuk ke dalam kehidupan yang tidak berbahagia, mengalami kekosongan, kehampaan, tidak berarti, dan tidak memuaskan. Ini semua adalah tipu muslihat yang sedang Iblis kerjakan di penghujung akhir zaman ini, kita dibuat menjadi terlalu sibuk untuk mengejar berbagai hal yang berada di dalam dunia ini.


Tetapi hal yang paling berarti adalah pada saat kita dapat menciptakan dan membuat sesuatu, dan hal itu dapat dinikmati oleh banyak orang.


Misalnya kalau ada seseorang yang hobinya suka memasak, maka dirinya akan merasakan sukacita tersendiri di dalam hati bila hasil masakannya itu dapat disukai dan dihabiskan orang lain. Ketika kita membuat planning / rencana, menjalankannya, lalu banyak orang yang mendapat manfaat darinya, dan pada akhirnya nama Tuhan yang dipermuliakan.. ada sukacita tersendiri yang tidak dapat dibeli dengan sejumlah uang, bila di dalam hidup ini kita dapat memancarkan berkat yang bersumber dari rencana, dan juga hasil karya kita.


Kehidupan yang paling memuaskan adalah kehidupan yang dapat berbuah bagi banyak orang, dan yang dapat menghasilkan sesuatu. Sebaliknya, kehidupan yang paling membosankan adalah kehidupan yang dijalani hanya untuk berfokus dan memuaskan diri sendiri saja. Apa yang kita peroleh dari dalam dunia ini sesungguhnya begitu mudah habis dan cepat berlalu. Ketika kita mengejar dan berusaha mendapatkan sesuatu yang berasal dari dalam dunia ini, semuanya itu tidak akan pernah dapat memuaskan hati dan hidup kita.


“Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup.” (Yohanes 7:38).

Dari kata-kata yang dicetak tebal di ayat di atas kita dapat belajar agar menjadikan hidup kita ini berbuah-buah dan menjadi saluran berkat, dan dapat menjadi berkat bagi orang-orang sekitar.


Hal ini juga memiliki arti,


Setiap kita diundang untuk dapat menjalani sebuah kehidupan “yang penuh”, yang memuaskan, dan yang tidak akan pernah kita sesali.

Hidup yang patut disyukuri bukanlah sekadar hidup yang tidak pernah mengalami apa yang namanya kekurangan. Memang hal ini adalah baik adanya, di mana Tuhan dapat memelihara dan mencukupkan setiap aspek di dalam hidup kita sehingga tidak berkekurangan apa pun. Tetapi lebih dari itu tujuan utama kita diciptakan adalah, agar kita dapat menjalani kehidupan yang dapat menghasilkan buah. Kita tidak sekadar diselamatkan hanya untuk “mati masuk Surga setelah meninggal dunia” saja, tetapi Tuhan merindukan agar setiap kita dapat berbuah dan menggenapi ayat firman Tuhan,


“datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” (Matius 6:10).

Bagaimana caranya agar kita mendatangkan kerajaan-Nya di atas muka bumi ini? Yakni dengan menjalani kehidupan yang dapat menghasilkan buah bagi sesama.


Sebab Tuhan telah menciptakan hidup kita untuk dapat berbuah, menghasilkan karya, dan kita bekerja keras untuk dapat menjadi berkat serta memperhatikan kepentingan banyak orang—tidak hanya memperhatikan kepentingan diri kita sendiri saja. Selain itu dengan cara yang positif, kita juga mau untuk “dimanfaatkan” dan menjadi berkat di dalam kehidupan orang lain.


Melalui semuanya itu, kita dapat menghadirkan kerajaan Surga di dalam hidup ini.


Oleh sebab itu alangkah sedihnya bila di dalam hidup kita tidak dapat memberikan manfaat yang baik dan positif bagi sesama, dan kita hanya berfokus hidup bagi diri sendiri saja.


Ubahlah cara berpikir kita selama ini. Bersyukurlah bila masih ada orang lain yang bisa mendapatkan berkat dan manfaat melalui hidup kita yang sudah diberkati Tuhan, dan yang selalu dimampukan untuk dapat menjadi “sebuah pohon yang menghasilkan buah di setiap musim kehidupan, di mana rasa manis dari buah tersebut dapat dinikmati oleh orang-orang di sekitarnya”.


Setiap kita dimampukan dan dapat dipakai Tuhan untuk menjadi perpanjangan tangan-Nya, bagi sesama yang membutuhkan.


“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu. Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.” (Yohanes 15:16-17).


Tuhan telah memanggil dan menetapkan setiap kita untuk pergi, menghasilkan buah, dan buah kita itu tetap adanya / permanen / terus-menerus. Jadi kita dipanggil bukan hanya sekadar untuk menjalani dan menikmati kehidupan nyaman, “berlimpah”, ditolong Tuhan, dan mati masuk Surga saja.


Selain itu di ayat di atas dilanjutkan dengan,


“…supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.” (ayat 16).

Dari ayat di atas kita dapat belajar bahwa jawaban doa dari Tuhan itu sangat berkaitan dengan hidup yang dapat menghasilkan buah. Kalau permintaan kita selama ini hanya sekadar untuk memuaskan hawa nafsu, maka Tuhan pasti tidak akan menjawabnya. Firman Tuhan berkata,


“Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu.” (Yakobus 4:3).


Permohonan doa kita akan dijawab Tuhan pada saat kita mau bergerak dan berproses untuk terus menjalani hidup yang menghasilkan buah, dan buah kita itu tetap, selalu ada, terus muncul secara konsisten, bukan hanya sekadar hiasan menempel, apalagi jarang untuk kita mau berbuah.


Untuk berbuah memang perlu usaha, tetapi kalau posisi hati kita tepat, maka hal itu dapat secara otomatis kita lakukan. Kita dapat belajar dari kehidupan tanaman yang berbuah. Bila semuanya berada dan berjalan dengan tepat sesuai dengan proporsi / bagiannya seperti tanah, benih, pupuk, dan banyak hal lainnya.. maka sebuah pohon pasti secara otomatis dapat menghasilkan buah.


Karena itu biarlah hidup kita terus diselaraskan dengan terus mendekat pada Tuhan di dalam doa dan tetap setia di dalam pembacaan firman-Nya / Alkitab, biarlah hati kita terus dipulihkan dan juga dikuatkan di dalam firman dan hadirat-Nya.. maka kita akan selalu dimampukan Tuhan untuk dapat berbuah, di segala musim kehidupan.


Poin Pertama. Ditetapkan untuk Terus Berbuah.


“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.” (Yohanes 15:16).


Berhati-hatilah dengan arus zaman pada hari-hari ini yang memiliki anggapan bahwa Tuhan itu ada hanya sekadar untuk memenuhi semua kebutuhan kita. Banyak pengajaran yang mengatakan bahwa kita diciptakan hanya sekadar untuk menjadi konsumen / pengguna yakni, menerima kebaikan Tuhan dan menjalani hidup yang enak, dan kita sama sekali tidak memiliki masalah.


Tanggalkan semua gambaran yang kurang tepat ini, sebab kehidupan yang terus berbuah adalah tanda pilihan dari Tuhan atas hidup seseorang, yang merupakan sebuah bukti bahwa dirinya benar-benar sudah diselamatkan. Jadi “hidup selamat” itu bukan sekadar menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat saja, lalu selesai. Tidak.


Tetapi ada sesuatu yang terus dihasilkan dari hidup kita, yakni adanya buah. Sebab bisa saja seseorang sudah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya, tetapi hidupnya masih saja tetap sama, dan tidak mau berbuah.


Hati Baik = Kata-kata Baik.


Jadi tidak hanya sekadar kita berkata,


“Tuhan itu melihat hati, sekalipun saya berkata kasar, tetapi hati saya aslinya baik.”


Padahal firman Tuhan mengatakan,


“Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.” (Matius 15:18).

Salah satu buah yang harus dihasilkan adalah kata-kata yang baik, sebab sebuah pohon itu dikenal dari buah yang dihasilkannya. Pada saat menyembah Tuhan, kita mungkin berpikir hanya dengan bermodalkan “hati yang mengasihi Tuhan” saja, itu semua sudah cukup. Padahal bila kita berdiam diri saja, maka hati kita tidak dapat berbuat apa-apa, semua harus dinyatakan lewat sikap nyata di hidup keseharian. Melalui perkataan dan perbuatan yang baik, sikap kita yang baik dan memuliakan nama-Nya.. ini semua bersumber dari hati yang baik.


Tetapi permasalahannya, manusia sesungguhnya tidak dapat mengenali dirinya sendiri. Firman Tuhan mengatakan pada kita,


“Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” (Yeremia 17:9).

Dan setelah membaca ayat tersebut kita tidak boleh berpuas diri hanya dengan mengatakan,


“Yang paling penting, Tuhan itu tahu isi hati saya.”


Tuhan memang mengetahui isi hati kita, tetapi kita sendiri yang bisa jadi tidak mengetahui dan mengenal isi dari hati kita sendiri. Jadi bagaimana caranya mengetahui isi hati kita? Yakni dengan cara berbuah, menghasilkan hal-hal yang baik, buah kita tetap adanya.. baru kita dapat mengenal bagaimana sesungguhnya yang menjadi isi hati kita. Sebuah pohon dikenal dari buah-buah yang dihasilkannya, dan orang-orang di sekitar dapat melihatnya.


Karena Tuhan telah menetapkan kita untuk berbuah, maka tidak adanya buah bisa jadi merupakan pertanda adanya kematian rohani.


Kalau seorang Kristen merasa bahwa “hidup normal” itu hanya berbicara yang terpenting itu hanyalah dirinya, keluarganya, pekerjaannya semua selamat dan baik-baik saja, kalau orang lain nanti-nanti saja, kalau ada kesempatan baru saya akan menolong, kalau ada berkat lebih baru saya mau memberi, yang terpenting saya dan keluarga aman dan selamat terlebih dahulu..


Kalau semua ini yang kita kejar terlebih dahulu, kehidupan berbuah hanya dianggap sebagai opsi / pilihan, dilihat-lihat dahulu, kita merasa kalau ada kesempatan boleh sekali-kali bermurah hati dan berbuat baik.. maka bisa jadi semuanya ini akan mengarah dan dapat menjadi pertanda dari apa yang namanya kematian rohani. Karena itu, selidikilah hati kita benar-benar mengenainya.


Kalau semua ini yang kita kejar terlebih dahulu, kehidupan berbuah hanya dianggap sebagai opsi / pilihan, dilihat-lihat dahulu, kita merasa kalau ada kesempatan boleh sekali-kali bermurah hati dan berbuat baik.. maka bisa jadi semuanya ini akan mengarah dan dapat menjadi pertanda dari apa yang namanya kematian rohani. Karena itu, selidikilah hati kita benar-benar mengenainya.


Khotbah Yohanes Pembaptis.


“Jadi hasilkanlah buah-buah yang sesuai dengan pertobatan. Dan janganlah berpikir dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini! Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api.” (Lukas 3:8-9).


Banyak orang datang pada Yohanes Pembaptis karena perkataan di dalam khotbahnya yang sekalipun keras dan menusuk, tetapi apa yang dikatakannya itu benar, dan perkataannya telah menyentuh dan mengubah hidup banyak orang. Dan sama seperti yang ditulis di ayat di atas, Yohanes menantang setiap para pendengarnya untuk menjalani hidup yang menghasilkan buah-buah yang sesuai dengan pertobatan.


Hal ini dilakukannya karena banyak dari orang Yahudi memiliki kepercayaan berdasarkan kitab Talmud, yang merupakan catatan tentang diskusi dari para rabi / guru / kaum bijaksana yang berkaitan dengan berbagai hukum dan ajaran Yahudi, etika, kebiasaan, dan sejarah.


Mereka percaya bahwa mereka ini adalah anak-anak Abraham, di mana Abraham dipercaya menjadi seorang penjaga di depan pintu masuk Neraka. Ketika ada seseorang yang meninggal dan berjalan masuk ke dalam Neraka, maka sama Abraham diberhentikan dan ditanya terlebih dahulu siapakah jati dirinya, di depan pintu Neraka tersebut. Kalau orang tersebut mengatakan bahwa dirinya adalah anak Abraham, maka Abraham akan mencegah dia untuk masuk ke dalam Neraka, dan menyuruhnya berbalik menuju Surga.


Orang-orang Yahudi merasa bangga dengan status mereka sebagai anak-anak Abraham. Tetapi Yohanes Pembaptis dengan tajam dan menusuk hati mengatakan pada mereka bahwa “Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini!” (ayat 8), yang memiliki arti Allah bisa menjadikan siapa pun untuk menjadi anak-anak Abraham, dan hal tersebut tidak selalu dari golongan orang-orang Yahudi.


Itulah sebabnya bila sudah bertobat, maka langkah selanjutnya adalah kita memperbarui pikiran, dan setelah itu menghasilkan buah-buah yang sesuai dengan pertobatan di dalam hidup. Jangan berhenti dan tidak melakukan apa-apa hanya sampai di tahap “pertobatan” saja.


Bukankah firman Tuhan juga berkata,


“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2).


Kita juga sering mendengar kisah Rasul Petrus yang berdiri di depan pintu Surga dan bertanya pada setiap orang, apa alasan agar mereka layak untuk dapat masuk ke dalam Surga?


Apabila seorang tersebut mengatakan dirinya sudah berbuat baik selama ini, Petrus menolaknya. Apabila seorang tersebut mengatakan bahwa selama ini dirinya sudah rajin beribadah ke gereja, Petrus juga menolaknya. Tetapi apabila orang tersebut mengakui bahwa dirinya sudah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi, Petrus segera menerima dan mempersilakan orang tersebut masuk. Seolah-olah kalimat tersebut telah menjadi “password / kata kunci” bagi kita semua, untuk dapat masuk ke dalam Surga.


Memang tidaklah salah sebab firman Tuhan juga mengatakan pada kita,


“Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”” (Yohanes 14:6).

Tetapi marilah setiap kita mau untuk bertumbuh satu tahap lebih lagi dari status pengakuan awal pertobatan kita, dan mulai untuk menghasilkan buah di dalam kehidupan ini.


Kalau ayat di dalam Lukas 3:8 “dimodifikasi” sedikit menjadi seperti ini,


“Dan janganlah berpikir dalam hatimu bahwa kamu percaya pada Tuhan Yesus, karena Allah dapat menjadikan orang-orang yang hanya sekadar percaya Tuhan Yesus dari batu-batu ini!”


Alkitab di ayat lainnya juga mengatakan,


“Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” (Yakobus 2:19).

Melaluinya kita dapat belajar bahwa yang menjadi perbedaan antara Iblis dengan orang-orang yang hidupnya sudah diselamatkan melalui karya penebusan Kristus di atas kayu salib adalah, adanya buah yang dihasilkan di dalam hidupnya.


Yohanes Pembaptis mengatakan,


“Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api.” (Lukas 3:9).

Apa maksudnya?


Tujuan semula dari sebuah pohon berbuah diciptakan itu adalah untuk menghasilkan buah. Tetapi bila pohon tersebut tidak pernah menghasilkan buah di sepanjang hidupnya, maka pada akhirnya pohon tersebut akan ditebang, dipotong-potong menjadi kayu bakar, dan dibakar. Tahap ini akan menjadi akhir dari hidupnya.


Ayat firman Tuhan di atas yang mengatakan “dibuang ke dalam api” memiliki arti kalau sebuah pohon sampai ditebang dan menjadi kayu bakar.. berarti pohon tersebut telah menjalani kehidupan yang kosong, sia-sia, dan sudah tidak ada gunanya lagi. Hal yang sama bila kita hidup hanya sekadar untuk kepuasan diri sendiri dan tidak pernah mau menghasilkan buah.. maka kita akan menemukan di ujung akhir dari hidup kita adanya ketidakpuasan, kekosongan, dan juga kehampaan.


Kalau memiliki banyak uang, kita mungkin tidak akan menyadari kekosongan tersebut dan “melimpahi” hidup kita dengan berbagai harta benda serta segala sesuatu yang berasal dari dalam dunia ini. Memang, tidaklah salah bila kita mau mensyukuri dan menikmati setiap berkat dari Tuhan. Tetapi bila hidup kita hanya berfokus pada diri sendiri dan merasa bahwa kepuasan hanya didapat dari apa yang menjadi isi dari dalam dunia ini saja.. maka di satu titik kita akan menyadari bahwa mengejar semuanya ini adalah kesia-siaan belaka, hidup kita akan berakhir dengan apa yang namanya kekosongan dan kehampaan.


Hal ini juga yang dialami Salomo, yang memiliki kekayaan luar biasa, tetapi juga memiliki hikmat. Pada akhirnya Salomo berteriak frustasi,


“Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia.” (Pengkhotbah 1:2).

Bisa jadi kita juga dapat mengalami apa yang namanya “Neraka sebelum mati” yang memiliki arti hidup kita ini kosong, kering, dan berjalan di dalam kehampaan. Kita bisa tersesat dan terhilang—kita mungkin masih tahu akan apa yang menjadi mau kita, tetapi kita sendiri sudah tidak mengetahui di mana hidup kita sekarang berada.


Sehingga pada akhirnya kita hanya menjalani sebuah kehidupan yang berputar-putar, tidak menemukan arah dan tujuan, dan kita mencoba untuk mencari dan mengisinya dengan berbagai kenikmatan yang berasal dari dalam dunia, serta mengejar berbagai sensasi sesaat di dunia ini.


Kita mulai membeli barang-barang mewah hanya sekadar untuk flexing / kebiasaan yang dilakukan seseorang yang suka memamerkan apa pun di media sosial, hal itu bisa berupa harta benda, barang koleksi, maupun penampilan wah.


Bila tidak berhati-hati, seseorang yang suka mengejar dan ingin mendapat info dari figur seseorang, atau sebuah barang yang menjadi tren dan sedang viral.. dapat mengarahkan hidup kita menuju FOMO / Fear Of Missing Out / rasa takut karena tertinggal atau tidak mengetahui peristiwa, informasi, pengalaman, atau sebuah barang tertentu.. dan orang lain yang mendapat pengalaman berharga dari hal tersebut.


Lalu kita mulai menghabiskan setengah hidup dari waktu dan dana kita untuk mengejar dan mendapatkan semuanya itu, kita tidak bisa menghentikan dan mengendalikannya, sehingga setelah mendapatkan semuanya, hati dan hidup kita berujung pada kekosongan dan kehampaan.


“Lalu Yesus mengatakan perumpamaan ini: “Seorang mempunyai pohon ara yang tumbuh di kebun anggurnya, dan ia datang untuk mencari buah pada pohon itu, tetapi ia tidak menemukannya. Lalu ia berkata kepada pengurus kebun anggur itu: Sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan percuma!” (Lukas 13:6-7).


Melalui ayat di atas kita dapat belajar bahwa Tuhan Yesus mencari buah, tidak hanya dari pohon ara itu saja, tetapi juga dari hidup kita. Kalau sebuah pohon berakhir sampai menjadi kayu bakar, berarti pohon tersebut benar-benar sudah tidak memiliki kegunaan apa-apa lagi, pohon tersebut hanya bisa digunakan menjadi kayu bakar saja.


Tuhan telah menetapkan hidup kita untuk berbuah, dan buah kita itu tetap adanya. Setelah kematian, bagi orang-orang yang sudah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat serta yang menjaga hidupnya benar-benar, mereka sudah tahu ke mana arah dan tujuan hidupnya setelah kematian di dalam dunia yang fana ini.


Tetapi yang terpenting adalah pada saat kita masih dipercayakan waktu dan kesempatan selama hidup di dalam dunia, hal apa saja yang sudah kita perbuat? Apakah hidup kita sudah berbuah?


Kalau kehidupan kita selama ini berjalan dengan baik adanya.. kita harus berpikir bagaimana caranya hidup kita dapat berbuah bagi kerajaan Allah. Bagaimana caranya agar hidup kita ini dapat memberikan arti bagi banyak orang? Bagaimana caranya kita bisa berkarya, menciptakan sesuatu yang dapat dinikmati banyak orang, yang pada akhirnya nama Tuhan dipermuliakan?


Jangan berpuas diri hanya sampai di tahap memiliki banyak harta benda yang berasal dari dalam dunia ini saja, tetapi kejarlah kehidupan yang berbuah. Sebab bisa jadi kita nantinya akan malu bertemu Tuhan di dalam kekekalan, karena selama hidup di dalam dunia kita memiliki banyak harta benda, tetapi kita tidak pernah mau berbagi dan menjadi berkat bagi sesama yang membutuhkan.


Poin Kedua. Hidup Mempraktikkan Kasih.


“Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.” (Yohanes 15:17).

Secara sederhana, realitas sesungguhnya dari buah yang dapat dihasilkan melalui kehidupan anak-anak Tuhan itu adalah, kita dapat mempraktikkan kasih di dalam segala situasi dan kondisi, di dalam kehidupan nyata di keseharian.


Kita juga dapat belajar ketika banyak orang datang dan bertanya pada Yohanes Pembaptis,


“Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?” Jawabnya: “Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian.” Ada datang juga pemungut-pemungut cukai untuk dibaptis dan mereka bertanya kepadanya: “Guru, apakah yang harus kami perbuat?” Jawabnya: “Jangan menagih lebih banyak dari pada yang telah ditentukan bagimu.” Dan prajurit-prajurit bertanya juga kepadanya: “Dan kami, apakah yang harus kami perbuat?” Jawab Yohanes kepada mereka: “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu.” (Lukas 3:10-14).


Dari ayat di atas kita dapat belajar bahwa Yohanes Pembaptis tidak menuntut agar orang banyak tersebut segera berganti pekerjaan, tetapi dirinya memberi nasihat agar mereka mau untuk mempraktikkan kasih bagi orang-orang yang berada di sekitar. Hal tersebut juga mengajar kita bahwa sesungguhnya masih banyak cara untuk dapat menghasilkan buah, di dalam hidup ini.


“Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian.” (ayat 11).


Seseorang itu minimal di dalam hidupnya memiliki dua helai baju, satunya bisa dicuci pada saat kotor dan satunya bisa dipakai pada saat baju satunya masih belum kering dicuci. Hal ini memiliki arti agar kita tidak hanya berfokus pada hidup dan kebutuhan kita sendiri saja, tetapi marilah belajar untuk berfokus dan melihat apa yang menjadi kebutuhan dalam hidup sesama. Demikian juga mengenai makanan, kita bisa berbagi pada sesama yang membutuhkan makanan tersebut.


Apa itu hidup berbuah?


Pdt. Agus Lianto belajar untuk tidak menunda agar hidupnya dipakai Tuhan untuk dapat menjadi berkat bagi sesama yang membutuhkan, dengan berbagi apa yang dimilikinya. Sesungguhnya hal ini adalah salah satu buah yang harus dihasilkan di dalam setiap kehidupan orang percaya.


Memang kita bukanlah seorang juruselamat dunia yang bisa menyelamatkan dan menyelesaikan masalah banyak orang, tetapi kalau sampai ada seseorang yang diatur Tuhan untuk datang dan bersinggungan dengan hidup kita, maka kita harus belajar untuk tidak boleh mengatakan bahwa itu bukanlah urusan kita. Pasti ada maksud dan tujuan Tuhan di dalam segala hal yang Dia izinkan terjadi di dalam hidup kita, termasuk bertemu dengan beberapa orang. Semuanya bertujuan agar kita dapat menjadi berkat dan juga menghasilkan buah bagi sesama, sehingga nama-Nya dipermuliakan.


Ketika berbicara mengenai topik “memberi”, mungkin tak sedikit dari antara kita yang berpikir bahwa nantinya semua orang akan datang pada kita untuk memanfaatkan dan meminta pertolongan, padahal belum tentu terjadi demikian.


Kalaupun memang benar Tuhan mengizinkan banyak yang datang untuk meminta pertolongan, maka hal itu memiliki arti Tuhan telah mempercayakan berkat-berkatNya pada kita, dan Dia memberi kapasitas di dalam hidup kita untuk dapat menolong sesama yang membutuhkan pertolongan-Nya. Hal ini adalah buah yang dapat kita berikan pada mereka, yang membutuhkan pertolongan dari hidup kita.


Siapa pun yang datang meminta pertolongan, selama kita masih bisa membantunya, maka hal itu menjadi tanggung jawab kita. Dan sering kali apa yang diminta orang tersebut, kok selalu pas kita itu ada dan bisa membantunya. Orang-orang seperti ini diizinkan dan dikirim Tuhan agar kita dapat belajar memberi, dan juga mengasihi hidup mereka.


Suatu hari Pdt. Agus Lianto mendapat berkat dari Tuhan berupa rumah baru, dan mengemas ratusan buku koleksinya di dalam beberapa kardus besar. Selang beberapa tahun lamanya kardus tersebut tidak pernah dibuka, dan Tuhan menggerakkan hatinya untuk membagikan buku-buku tersebut pada perpustakaan di sebuah sekolah.


Pada mulanya beliau menolak, mengingat mengoleksi dan membaca buku adalah hobi favoritnya. Tetapi Tuhan menunjukkan bahwa dirinya sekarang sudah memiliki ribuan judul buku yang tersimpan di dalam digital library / perpustakaan digital di dalam gadget-nya. Singkat cerita beliau pada akhirnya merelakan semua koleksi buku yang dimilikinya, agar dapat menjadi berkat di perpustakaan sekolah tersebut.


Bagaimana dengan hidup kita? Mungkin selama ini di dalam gudang di rumah kita ada banyak barang yang sudah tidak dipakai lagi, tetapi sebenarnya barang tersebut masih layak untuk dipakai. Cobalah pikirkan untuk kita dapat berbagi dan memberikan pada sesama yang membutuhkan. Inilah yang namanya kehidupan yang mau berbuah, yakni ketika kita belajar untuk mempraktikkan kasih, bagi sesama yang membutuhkan.


“Ada datang juga pemungut-pemungut cukai untuk dibaptis dan mereka bertanya kepadanya: “Guru, apakah yang harus kami perbuat?” Jawabnya: “Jangan menagih lebih banyak dari pada yang telah ditentukan bagimu.”” (ayat 12-13).


Ketika para pemungut cukai bertanya pada Yohanes Pembaptis, apa yang harus mereka perbuat? Yohanes mengatakan jawaban di ayat di atas.


Pekerjaan para pemungut cukai ini sangat dibenci oleh orang Yahudi, karena selain mereka berasal dari bangsa Yahudi, mereka berusaha memperkaya hidup mereka dengan hal-hal di luar kewajaran dan menaikkan target melebihi apa yang telah ditetapkan sebelumnya. Misalnya mereka ditarget untuk mendapat penerimaan pajak sebesar seratus ribu, maka mereka bisa jadi akan menaikkan dan memaksa masyarakat menjadi lima ratus ribu.


Tetapi dengan dikatakan,


“Jangan menagih lebih banyak dari pada yang telah ditentukan bagimu.”

Berarti para pemungut cukai diajar untuk tidak meraih kekayaan lebih, dengan menagih lebih dari apa yang telah ditetapkan sebelumnya.


Tidak semua keuntungan besar harus diambil. Kalau kita mau hidup di dalam kasih, ambillah keuntungan sewajarnya. Tentunya, sasarannya adalah agar orang lain juga mendapat berkat darinya, bukan supaya kita dapat meraih keuntungan yang sebesar-besarnya.


Selain itu, jangan gunakan pengaruh kita untuk memeras orang lain, apalagi sampai memanfaatkan situasi yang ada. Jangan berbuat hal yang jahat, yang bisa mendukakan hati Tuhan, dan nantinya menjadi batu sandungan bagi sesama.


Mungkin tak sedikit dari antara kita yang meminjami sesama pada mulanya dengan dasar kasih / kasihan. Kalau memang dirinya benar-benar membutuhkan, cobalah memperhitungkan untuk tidak menggunakan bunga pinjaman. Kalau kita mau jujur dengan diri sendiri, maka sebenarnya kita tidak seberapa membutuhkan bunga tersebut, tetapi seseorang yang mau pinjam uang tersebut, jauh lebih membutuhkan uang tersebut.


Lalu bagaimana bila tidak dibayar?


Sedari awal kita perlu belajar sebuah prinsip untuk tidak meminjami seseorang melebihi kemampuan yang kita miliki. Bahkan ketika tiba di satu titik, orang tersebut benar-benar tidak lagi memiliki kemampuan untuk dapat membayar pinjamannya, maka kita bisa berdoa meminta kasih dan hikmat Tuhan yang menuntun agar hidup kita diberi kesempatan dan kekuatan, agar kita dapat menjadi berkat bagi yang meminjam uang tersebut.


Mengapa? Karena firman Tuhan sendiri yang mengatakan pada kita,


“Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Matius 5:45).


Sebagai anak-anak Tuhan, jangan pilih kasih, apalagi sampai memandang muka. Sebab kasih sendiri merupakan dasar, niat, dan juga dorongan dari dalam hati untuk dapat melakukan sesuatu bagi seseorang yang kita kasihi.


“Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran.” (Yakobus 2:9).

Tetapi kita juga harus berbijaksana, sebab tidak semua yang meminjam harus kita beri. Misalnya, kalau ada seseorang yang mau meminjam uang hanya untuk membeli narkoba / Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif berbahaya lainnya, yang merupakan bahan / zat yang jika dimasukan ke dalam tubuh manusia, baik secara oral / diminum, dihirup, maupun disuntikan, dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang.. maka kita bisa dengan tegas menolak permintaan dari orang tersebut.


Memang prinsip dasarnya adalah kasih, tetapi kalau hal itu dapat menghancurkan hidup seseorang dan membuat dirinya semakin bertambah jauh dari hubungannya bersama Tuhan.. lebih baik kita tidak memberikan. Ujilah hati kita benar-benar.


Prioritas utama tetaplah menjadi berkat, kita harus mau terlebih dahulu. Tetapi kita juga harus berdoa meminta kasih dan hikmat dari Tuhan untuk selalu menuntun, agar kita dapat memberi tidak melebihi kekuatan finansial dari yang kita miliki.


Jadi kita tidak hanya sekadar pandai berbicara saja tetapi juga hidup di dalam kasih, mau melakukan segala sesuatu tanpa memandang muka, dan ada kasih dan hikmat Tuhan yang menjaga dan selalu menyertai. Dengan kita belajar untuk hidup mempraktikkan kasih, kita juga belajar untuk berani melawan arus budaya dan juga kebiasaan orang-orang di sekitar yang hari-hari ini sangat mementingkan dirinya sendiri.


“Dan prajurit-prajurit bertanya juga kepadanya: “Dan kami, apakah yang harus kami perbuat?” Jawab Yohanes kepada mereka: “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu.”” (Lukas 3:14).


Apa artinya? Jangan korupsi, dan jangan pernah mengambil apa yang bukan menjadi bagian dan milik kita.. inilah yang namanya hidup berbuah. Di dalam tahap ini, Yohanes Pembaptis masih mengajar para prajurit untuk hidup dalam kebenaran, agar mereka dapat berbuah lebih lagi.


Ada rasa bahagia dan puas ketika kita dapat menghasilkan buah untuk orang lain. Ketika kita do something / berbuat sesuatu dalam hidup mereka.


Poin Ketiga. Menjadi Pohon yang Baik.


“..Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri? Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik. Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api.” (Matius 7:16-19).


Untuk berbuah kita tidak mengusahakannya dari luar dan membuat buahnya.. tetapi kita mengejar sebuah kondisi di mana kita dapat bertumbuh menjadi “pohon yang baik,” baru nantinya kita dapat menghasilkan buah yang baik.


Banyak orang berpendapat, orang-orang di luar iman Kekristenan itu buah kehidupannya jauh lebih banyak dan perbuatan baik mereka tidak perlu diragukan lagi. Bahkan sikap mereka selama ini telah terbukti jauh lebih baik dari sikap kita, yang katanya kita ini adalah anak-anak Tuhan.


Kenyataannya, seseorang itu bisa saja menghiasi dirinya dengan berbagai buah, tetapi buah tersebut belum tentu muncul dari dalam hatinya. Alkitab dengan tegas mengatakan pada kita,


“setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik.” (ayat 17).

Dan kita menemukan ada orang-orang yang tidak mengenal Tuhan seutuhnya, hidupnya tidak pernah dipenuhi kasih Tuhan, tetapi dirinya dapat berbuah lebih banyak. Mengapa?


Banyak orang hari-hari ini menemukan bahwa hidup yang berfokus hanya pada dirinya sendiri itu tidak pernah memuaskan, dan mereka merubah arah hidupnya menjadi seorang filantropis / yang merupakan tindakan seseorang yang suka berbagi, memberi diri, dan melakukan aktivitas sosial.


Tetapi tetap ada perbedaan antara filantropis dengan apa yang Tuhan Yesus sudah perkatakan di ayat di atas. Tanpa adanya kasih, kita masih bisa berbuat baik. Bahkan Rasul Paulus di dalam 1 Korintus 13 menegaskan kepada kita,


“Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.” (ayat 1-3).


Hanya Sekadar Buah Tempelan?


Kita bisa saja menghiasi diri tampak luar dengan berbagai macam buah, tetapi kasih Allah tidak pernah bekerja di dalam dan menguasai hidup kita. Sehingga pada akhirnya buah kita hanya sementara, “ditempel” hanya sekadar untuk kepuasan diri kita sendiri, serta hanya untuk mengejar pengakuan dan juga rasa hormat dari orang lain. Ketika menjadi seorang filantropis yang bermurah hati, maka banyak orang akan mencari, memuja, dan mengatakan banyak hal baik tentang kita. Ini adalah upah yang didapat seorang filantropis.


Kalau kita mau berbuah, maka jangan pernah membeli buah di luar dan asal ditempel begitu saja di hidup kita. Kalau kita mau berbuah, maka di awalnya kita harus yakin dan cek benar-benar bahwa motivasi yang berada di dalam hati kita ini adalah bersih adanya. Sehingga ketika kita berbuat baik, kita tidak akan mudah menjadi capai.


Kalau selama ini berbuat baiknya hanya sekadar dekorasi dan tempelan, maka bisa jadi kita akan berpikir mau sampai kapan kita mengalami berbagai kerugian, hanya karena berbuat baik? Mau sampai kapan kita tetap berbuat baik, sekalipun tidak ada seorangpun yang melihat dan menghargai apa yang sudah kita kerjakan?


Bahkan bisa jadi di luar rumah kita menunjukkan banyak perbuatan baik pada orang-orang di sekitar, tetapi ketika kita berada di dalam keluarga, kita berubah menjadi seorang yang berbeda.


Berapa banyak dari antara kita yang masih mengucapkan terima kasih pada istri, ketika dirinya sudah memasak makanan setiap hari? Berapa banyak dari para istri sudah berterima kasih pada suaminya karena sudah membantu mencucikan piring, dan juga membantu pekerjaan rumah lainnya? Berapa banyak yang menyapa anak-anak kita dan berkata, how are you?


Kalau kita bertemu dengan orang asing, maka kita akan melakukan yang terbaik dengan menyalami mereka dan memberi senyum terbaik kita. Tetapi yang menjadi pertanyaannya, bagaimana perlakuan kita dengan anggota keluarga sendiri? Kita tidak pernah berbicara hangat pada anggota keluarga kita, tidak pernah tersenyum, tidak pernah mengucapkan terima kasih, tidak berbuat baik sebaik yang kita lakukan bagi orang lain.


Hal ini berarti buah di dalam hidup kita itu palsu / tidak asli, hanya sekadar dekorasi dan tempelan, cuma terlihat luar tetapi berbeda di dalamnya, dan buah kita tidak konsisten / tidak tetap.


Buah yang asli akan muncul dengan sendirinya. Tuhan yang akan memampukan hidup kita untuk selalu berbuah di setiap musim di kehidupan, dan buah kita itu tetap adanya / konsisten. Berbuat baik itu harus keluar dari dalam hati kita, yang menyadari ada prinsip kebenaran firman Tuhan yang harus kita selesaikan dengan setia.


Oleh karena itu betapa indahnya sebuah kehidupan di mana kita dapat berbuah dan berbagi pada sesama yang membutuhkan. Berdoa yang terbaik agar Tuhan selalu memampukan setiap kita untuk dapat menangkap dan melihat keindahan, pada saat kita mau berbagi pada sesama.


Kalau Tuhan yang tinggal di dalam hati kita, dan motivasi hati kita ini memang benar adanya dari semula, maka kita akan merasakan api kasih itu akan terus menyala di dalam hati kita. Hidup kita akan mudah tersentuh melihat orang-orang yang membutuhkan pertolongan, yang tidak punya apa-apa.. hati kita akan dipenuhi belas kasihan dan mudah kasihan terhadap mereka. Dan ketika hati kita sudah tersentuh, maka kita tidak akan tahan dan tidak dapat berdiam diri untuk melakukan sesuatu yang baik, di dalam hidup mereka.


Hidup yang Dimanfaatkan.


Bagaimana kalau kita merasa hidup kita dimanfaatkan? Ayat di atas mengatakan pada kita bahwa Tuhan itu telah,


“..menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.” (Yohanes 15:16).


Tujuan dari hidup kita itu adalah, kita dapat menghasilkan buah yang tetap dan kita juga dapat memberi manfaat yang baik bagi orang-orang di sekitar yang membutuhkan. Jadi jangan sampai hidup kita ini tidak bermanfaat. Kalau sampai kita tidak dapat dimanfaatkan, jangan-jangan selama ini kita hanya hidup bagi diri sendiri saja.


Tetapi hal itu bukan berarti kita menjadi sangat bodoh dan dengan begitu mudahnya dapat dimanfaatkan oleh sesama. Kita sendiri juga harus meminta tuntunan hikmat dan kasih dari Tuhan. Selain itu sama seperti yang sudah ditulis di atas, kalau Tuhan sendiri tidak melihat hidup kita ini memiliki kapasitas untuk dapat menolong seseorang, maka Tuhan pasti tidak akan mengizinkan kita untuk dapat bertemu dengan seseorang tersebut. Tuhan akan memimpin dan menggerakkan orang lain untuk dapat bertemu dan menolong seseorang tersebut.


Oleh karena itu, jangan pernah berpikir dan jangan takut bila hidup kita dapat memberi manfaat yang baik bagi orang lain. Kita harus bersyukur karena hidup kita ini berguna bukan hanya untuk diri kita sendiri saja, tetapi juga bagi orang lain.


Ketika kita memutuskan untuk mau berbuah, maka Tuhan sendiri yang akan memampukan setiap kita untuk dapat berbuah di berbagai musim kehidupan, dan buah kita juga tidak akan pernah habis. Tuhan sendiri yang akan menjadi Sumber kekuatan di dalam hidup kita agar buah kita ini dapat semakin bertambah sehat, segar, dan juga bertambah banyak, sesuai dengan apa yang Tuhan nantinya percayakan di dalam hidup kita.


Berbuah bagi Kristus.


Kalau kita ingin berbuah, maka yang harus dilakukan pertama kali adalah memeriksa motivasi yang ada di dalam hati kita terlebih dahulu. Jadilah pohon yang baik, agar kita dapat menghasilkan buah yang baik. Dan bila kita merasa bahwa kehidupan kita sudah berbuah, marilah memeriksa kembali apakah buah yang kita hasilkan ini benar-benar asli keluar dari dalam hati, atau hanya sekadar tempelan atau dekorasi saja?


Sangat penting bagi kita untuk kembali melihat, apakah selama ini kita telah berbuah lebat di luar rumah? Tetapi di dalam anggota keluarga kita sendiri, kita sama sekali tidak pernah berbuah dan tidak pernah menunjukkan kasih Allah di dalam hidup mereka.


Mulailah segala sesuatu berasal dari dalam keluarga sendiri. Mulailah kebiasaan yang dilakukan di setiap harinya untuk kita dapat berkata,


“Terima kasih, maaf, tolong, dan permisi.”


Marilah kita berusaha sungguh-sungguh untuk melakukan beberapa langkah untuk mencapai pertumbuhan rohani, sama seperti yang sudah disampaikan khotbah dari Pdt. Andreas Rahardjo selama dua minggu berturut-turut.


Hidup yang paling memuaskan adalah hidup yang dapat memberikan manfaat bagi sekitar. Di dalam Doa Bapa Kami dikatakan,


“datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” (Matius 6:10).

Siapa yang harus mendatangkan kerajaan-Nya? Jawabnya adalah, Tuhan dan juga setiap kita.


Surga dapat kita alami tidak harus setelah kita meninggalkan dunia yang fana ini, tetapi kita bisa menghadirkannya sekarang dengan menjalani kehidupan yang berbuah-buah. Dan buah yang kita hasilkan adalah buah yang benar-benar berasal dari dalam hati, bukan hanya sekadar dekorasi dan tempelan, bukan hanya sekadar untuk dilihat orang. Secara konsisten kita terus berbuah, walau tidak ada seorangpun yang melihat, memuji, tidak ada yang tahu, dan tidak ada yang mau tahu.


Berbuahlah bukan untuk sekadar mencari penghormatan dan mengejar penerimaan dan perkenanan dari manusia, tetapi berbuahlah karena kita adalah pohon yang baik. Hati kita terus dipulihkan, dan dijamah oleh kebaikan Tuhan, menjadi jemaat yang berbuah-buah lebat, penuh kebaikan dan generous / suka memberi.


Daripada memandang kehidupan ini sebagai kesempatan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin harta benda yang berasal dari dalam dunia ini, mengapa kita tidak mulai melihat hidup ini sebagai sebuah kesempatan untuk berbuah sebanyak-banyaknya? Ini adalah tujuan hidup kita diselamatkan, merupakan bukti bahwa kita adalah anak-anak Tuhan yang sejati, dan tanda kita memiliki hidup yang kekal di dalam Surga.


Sebuah pohon yang tidak berbuah akan menjadi pohon yang sia-sia, ditebang dan dibuang ke dalam api, menjalani sebuah kehidupan yang sia-sia belaka. Mungkin kita memiliki segalanya, tetapi terasa begitu hampa dan kosong karena bisa jadi selama ini kita hanya mengambil dan mengumpulkan, bukan memberi pada sesama yang membutuhkan. Jadilah orang yang suka untuk memberkati orang lain, lakukan hal ini secara konsisten dan menjadi kebiasaan.


Yang bekerja, ambillah keuntungan yang sewajarnya. Jangan pernah memeras orang. Tidak semua kesempatan untuk mendapat keuntungan besar itu harus kita ambil. Hiduplah sewajarnya, pastikan apa yang kita dapatkan itu tidak hanya berhenti bagi diri kita sendiri saja, tetapi terus mengalir bagi sesama yang membutuhkan.


Yang terpenting di dalam hidup ini bukanlah memiliki segalanya, tetapi kita dapat menjadi berkat di dalam segala situasi dan kondisi. Di mana kita menjadi seorang yang bermurah hati, buahnya selalu keluar, tetap / konsisten, bukan hanya buah yang sekadar ditempel supaya kelihatan bagus di luar, hanya sekadar supaya ingin dihormati orang. Tetapi buah tersebut memang keluar dari dalam hati kita. Sehingga walaupun tidak ada seorangpun yang melihat, memuji, dan menghargai, kita terus konsisten menghadirkan buah-buah tersebut.


Dan pastikan bahwa pihak pertama yang dapat merasakan manisnya buah kita adalah anggota keluarga kita, baru orang-orang di luar rumah kita. Hidup kita terus dimampukan Tuhan untuk dapat menghasilkan buah Roh (Galatia 5:22-23), dan hal ini terus mengalir pada saudara seiman, dan akhirnya pada banyak orang di sekitar kita.


Amin. Tuhan Yesus memberkati..

6 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


bottom of page